Ketika Persebaya mati suri, dalam hati saya berharap nantinya Persebaya bisa bangkit dalam situasi seperti Askhabul Kahfi. kisah tujuh pemuda dan satu anjingnya yang lari dari kejaran penguasa dholim dan tertidur dalam sebuah gua kemudian terbangun ketika penguasa sudah berganti dan tidak dholim lagi. Pada 2017, harapan itu terwujud sebagian, harapan bahwa Persebaya bisa bangkit dan berlaga dikabulkan, tetapi harapan bahwa Persebaya bangkit layaknya situasi Askhabul Kahfi ternyata belum terkabul. Persebaya bangkit (lagi) masih di era kompetisi yang pengelolaannya belum benar-benar bagus.
Masih banyak kepentingan di luar sepak bola yang tumbuh subuh dan menumpang dalam kepentingan sepak bola itu sendiri. Masih kita alami bagaimana sebuah klub bangkrut karena investornya kalah dalam Pilkada. Masih kita alami bagaimana banyak laga usiran tanpa penonton terjadi. Masih kita alami juga penundaan kompetisi karena alasan Pilkada. Masih kita alami juga, bagaimana jadwal kompetisi tidak selaras dengan jadwal Timnas di level internasional serta sederet carut marut lainnya yang sudah sangat sering kita alami sebagai penikmat sepak bola di Indonesia.
Meskipun demikian, kecintaan para pendukung Persebaya serta hausnya para Bonek melihat jersey Persebaya dikenakan para pemain di lapangan tidak bisa dibendung. Dimulai dengan Piala Dirgantara di Sleman sampai dengan final Liga 2 yang akhirnya berlangsung di Bandung, membuktikan bahwa publik sepakbola Surabaya dan sekitarnya serta para pecinta Persebaya di seluruh Indonesia bahkan dunia, sudah sangat merindukan Persebaya berlaga. Setiap laga di Liga 2 tahun itu, tidak satupun Bonek absen mendukung. Bahkan di laga yang dilaksanakan tanpa penonton karena alasan keamanan pun, Bonek tetap datang dan memberi dukungan dari luar stadion. Aparat keamanan seolah tidak berdaya membentuk gelombang kedatangan pendukung Persebaya ini.
Tentu ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak dipungkiri bahwa memang klub sepak bola dan suporternya merupakan sebuah entitas berbeda yang saling mendukung dan saling melengkapi. Laga sepak bola tanpa suporter atau suporter tanpa klub yang berlaga akan terasa hambar. Tidak ada euforia yang terbentuk karena yang ada hanya cerita sejarah. Persebaya dan Bonek membuktikan hipotesa tersebut
Persebaya dan Bonek Kini
Bangkitnya Persebaya juga membawa harapan tinggi. Masuknya Azrul Ananda sebagai investor baru tentu saja membuat senang para suporter. Siapa yang tidak mengenal kiprah Azrul Ananda di bidang basket. Liga Basket Nasional ditata rapih hingga kemasannya pun sungguh menarik. Semua pendukung Persebaya gembira dan berharap Persebaya dikelola dengan rapih seperti Azrul Ananda mengelola Bola Basket.
Beberapa harapan itu kemudian terwujud, tapi sebagian juga seperti kisah kebangkitan Persebaya di atas. Harapan bahwa Persebaya dikelola dengan rapi terwujud. Persebaya di bawah kendali Azrul Ananda menerapkan mekanisme kerja seperti klub-klub profesional. Kontrak pemain dilakukan jangka panjang, tidak permusim seperti sebelumnya. Memiliki sumber pemasukan klub yang beragam seperti toko merchandise resmi dan kontrak sponsor di jersey yang jangka panjang pula. Sudah 3 tahun Kapal Api bertengger di dada pemain Persebaya.
Dari sisi tiket, penerapan tiket terusan semusim, setengah musim, seperempat musim dan 3 laga merupakan terobosan baru. Apalagi kemudian saluran penjualan tiket dilakukan melalui daring di beberapa aplikasi. Tidak ada pembelian tiket tatap muka meskipun masih ada penukaran tiket tatap muka. Pengelolaan media promosi yang aktif seperti web resmi dan akun media sosial yang ada di semua aplikasi sosmed popular. Penerapan protokol keamanan dan kerapihan stadion seperti scan barcode gelang tiket dan penyekatan suporter tak bertiket. Serta yang tidak kalah penting, pembinaan usia dini yang kembali mengeliat seperti Persebaya U-15, U-19, dan U-21 yang memunculkan pemain-pemain berbakat.
Dari sisi suporter Bonek, kesadaran untuk membeli tiket setiap pertandingan semakin mendekati 100 persen. Hampir setiap pertandingan saluran penjualan tiket padat dan ludes seketika. Kreativitas suporter masing-masing tribun semakin baik. Tingkat keterisian tribun pun rata-rata cukup tinggi. Kerapihan manajemen Persebaya seperti menular ke suporternya. Banyak suporter yang datang ke stadion dengan dandanan “mboys” khas Surabaya dengan atribut ijo-ijo dari ujung rambut sampai bawah telapak kaki. Nyanyian dari tribun sekarang lebih banyak tentang dukungan dan semangat kepada tim, sangat jarang kita dengar nyanyian cacian dan hujatan kepada tim Lain. Kesadaran bahwa kalah dan menang semakin baik pula. Tidak ada lagi suasana mencekam ketika Persebaya kalah berlaga.
Ketika laga tandang pun, kesadaran tertib mulai meningkat dan terjaga. Banyak Bonek yang beralih menggunakan transportasi massal dan terkoordinir. Meskipun masih ada pasukan estafet, tetapi jumlahnya sudah jauh berkurang dari jaman dahulu, Selain itu, sudah sangat jarang kita dengan berita-berita Bonek tiket bertiket naik kereta dan bus.
Sudah sangat jarang kita dengar Bonek tak bertiket memaksa masuk ke stadion untuk melihat pertandingan. Sederet perbaikan positif tersebut tentu saja ditambah kisah positif lain di luar tribun staidion. Bonek sekarang mengelola Pantai Asuhan, Bonek punya pasukan tanggap bencana, adapula Bonekpreneur serta sederet hal positif lain. Bahkan di masa pandemik Covid-19 ini, ada sebagian Bonek yang mendarma baktikan sisi positif mereka untuk membantu mengurangi beban menghadapi Pandemi Covid-19.
93 Tahun Persebaya, Sebuah Pit Stop
Sederet perbaikan-perbaikan positif diatas tentunya tidak tanpa cela. Ada juga perbaikan-perbaikan yang belum memenuhi harapan. Dari sisi Tim Persebaya, seperti tidak ada persiapan yang matang setiap musim. Dalam kurun waktu tiga tahun sejak 2017, Persebaya sudah empat kali ganti pelatih. Apesnya keempat pelatih tersebut bongkar pasang di tengah kompetisi. Tentu ini menjadi kekhawatiran tersendiri. Sebuah siklus negatif yang berulang ini tentu tidak baik bagi sustainability tim sepak bola seperti yang diimpikan Azrul Ananda. Pergantian pelatih itu wajar, tapi jika dilakukan di tengah kompetisi tentu timbul tanda tanya.
Pun demikian dengan perekrutan pemain. Setiap awal musim, seperti ada drama yang berulang. Transfer tertutup, transfer tiba-tiba, transfer lambat dan sederet cerita lain pasti muncul. Kita tentu masih ingat drama surat terbuka tentang sebuah kereta menguras energi semua pihak. Bahkan awal musim 2020 in juga terjadi drama yang melibatkan Abduh Lestaluhu dan Angga Saputra.
Dari sisi Bonek, sederet tindakan negatif pun masih muncul. Penjarahan waktu laga tandang, pelanggaran terhadap kuota supporter tamu, masih banyaknya copet memanfaatkan situasi di tribun serta perilaku ugal-ugalan di jalan yang masih sulit hilang. Tentu sederet tindakan negatif ini harus segera diperbaiki dan dihindari.
Momen 93 tahun Persebaya harus dijadikan manajemen dan Bonek sebagai pengingat kembali, apa yang kita inginkan. Karena Persebaya tidak behenti di angka 93, Persebaya dan Bonek terus berposes. Kita semua sadar bahwa puncak prestasi terbesar klub sepak bola adalah juara, tetapi juara kemudian degradasi juga harus dihindari. Mimpi sustainability seperti milik Azrul Ananda juga tidak salah. Namun perlu kesabaran dan rencana yang tidak mengorbankan tim di lapangan. Momentum 93 tahun Persebaya ini dirasa tepat sebagai sebuah pit stop, meminjam istilah di olahraga balap, mengisi bahan bakar untuk melesat disegani lawan. Momentum terhentinya kompetisi akibat Pandemi Covid-19 harus dimanfaatkan untuk menguatkan kembali visi dan misi Persebaya sebagai sebuah tim sepak bola yang sedang berproses lebih profesional.
Pada situasi seperti ini, mari kita rinci dan tulis, apa saja kekurangan-kekurangan yang dimiliki, baik sisi tim Persebaya maupun sisi Bonek sebagai suporter. Kita jahit bersama kekurangan masing-masing tersebut setiap tahunnya. Kita jadikan setiap perayaan ulang tahun Persebaya sebagai tujuan jangka pendek. Satu kekurangan diperbaiki setiap tahun dan tahun berikutnya harus baik. Entah nanti di umur ke berapa Persebaya akan menjadi benar-benar profesional. Saya berharap, tujuh tahun lagi, di ulang tahun ke-100 Persebaya, mimpi sustainability milik Azrul Ananda sudah terwujud. Di tahun yang sama, saya juga bermimpi Persebaya sudah merengkuh juara kompetisi setelah mari suri.
Oleh karena itu, mumpung semua tim sedang masuk garasi, kita perbaiki semuanya, tata kelola tim Persebaya, tingkah laku supporter dan harapan-harapan yang menyatukan keduanya. Kita evaluasi kembali pencapaian dan kekurangan masing-masing. Dalam situasi semua tim tidak berlomba, saya kira tepat jika evaluasi jangka pendek dilakukan, dari kedua sisi, tim, dan suporternya. Secara jangka panjang, kita rajut kembali harapan-harapan yang mungkin belum sesuai. Jangan sampai lima atau sepuluh tahun lagi, Persebaya justru terjungkal dan tidak perkasa seperti yang kita harapkan.
Saat ini Persebaya memang bergerak ke arah sepak bola industri, tapi industri dan sepak bola harus berjalan bersama, jangan salah satunya dikalahkan hanya demi keuntungan semata. Jangan lupakan pula bahwa klub dan suporternya adalah sebuah entitas yang saling melengkapi. Bagaikan sebuah masakan, tim Persebaya adalah sayur dan suporter Bonek adalah bumbu masakan. Keduanya tidak terpisah dan saling menguatkan. Oleh karena itu, mari hilangkan gengsi, wani evaluasi.
93T WELL SOON INDONESIA, WANIII.
*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Juni 2020. Dengan tema Arti Ultah 93 Persebaya Bagimu, kontes dibuka hingga 30 Juni 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].