Sejujurnya, saya bukan lagi seorang Bonek saat menulis tulisan ini. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa saya pernah menjadi penggemar klub berjuluk Green Force, meskipun pada akhirnya memutuskan untuk memilih menjadi suporter serta penikmat klub lokal di tempat di mana saya tumbuh. Saya masih sering mengikuti siaran pertandingan Persebaya dan tak jarang pula ikut bersorak ketika Bajul Ijo berhasil membobol gawang lawan. Terlebih untuk dua gol Irfan Jaya dan Rishadi Fauzi melawan PSMS Medan. Tiga gol tersebut membuat saya ikut bergembira bisa melihat Persebaya kembali di liga teratas.
Sejak kecil saya sudah merasakan gema dari Persebaya. Getaran itulah yang membuat saya sedikit berbeda dari teman-teman saya, karena masa itu hanya segelintir saja yang gandrung kepada Persebaya. Saat itu Andi Oddang dan Mat Halil bagi saya terlihat lebih memukau daripada Cristian Gonzales ataupun Ismed Sofyan. Terlebih setelah era AFF Suzuki Cup 2010, banyak muncul bintang-bintang baru yang naik daun misalnya Irfan Bachdim dan Stefano Lilipaly yang menjadi idola baru para pecinta sepak bola nasional. Tapi, anehnya saya malahan lebih terpukau oleh attitude yang dimiliki seorang pemain asing bernama Mario Karlovic dan hal itu membuat saya akhirnya menggandrunginya.
Era setelah 2010 merupakan masa yang sulit bagi Persebaya. Kita semua tahu bahwa pernah ada upaya untuk mematikan Persebaya. Usaya ini dilakukan dengan berbagai cara seperti fenomena munculnya “Persebaya Lain”. “Persebaya Lain” ini merupakan tandingan bagi Persebaya yang ketika itu memilih berkompetisi di Liga Primer Indonesia yang sudah dicap sebagai kompetisi tidak resmi. Namun, hampir semua Bonek termasuk saya ketika itu mengamini bahwa Persebaya yang sesungguhnya adalah yang berkompetisi di Liga Primer Indonesia.
Keyakinan ini saya manifestasikan saat “Persebaya Lain” melakukan eksibisi pada Jumat, 6 Maret 2015 di kota tempat saya berasal. Saya memutuskan untuk tidak mendatangi stadion meski euforia warga sekitar cukup besar. Tak bisa dipungkiri nama besar Persebaya yang dipinjam “Persebaya Lain” ini mampu menghipnotis masyarakat awam dan menjadi magnet untuk mereka mengunjungi stadion sore itu. Alhasil, benar stadion penuh sesak meskipun salah satu kelompok suporter lokal memboikot laga tersebut sebagai solidaritas kepada kawan-kawan Bonek.
Dan puncak kekaguman saya dengan Persebaya adalah saat di mana Persebaya bisa menyatukan ratusan orang untuk bersama-sama secara kolektif berjuang agar Persebaya bisa berlaga kembali di kancah sepak bola nasional. Momen eksodus para Bonek ke Bandung adalah salah satu yang akan saya ingat selamanya. Sebagai warga yang tinggal di sekitar jalur Pantura, saya akan selalu ingat saat di mana rombongan hijau-hijau berseliweran secara estafet dari pagi hingga pagi lagi untuk memperjuangkan Persebaya. Dan momen tersebut pula yang membuat saya bisa merasakan apa yang namanya solidaritas antarsuporter. Dengan kondisi seadanya, saya beserta kawan-kawan secara kolektif berusaha membantu perjuangan para Bonek dengan memberi apa yang bisa kami beri. Karena kami tahu bahwa tak bisa menyaksikan klub kebanggaan adalah sesuatu yang pahit, terlebih jika hal tersebut memang sudah direncanakan sebagai usaha mematikan sang klub kebanggaan.
Selamat ulang tahun Persebaya yang ke-93. Semoga semakin lebih baik dan tetap bergema mengguncang dunia. Tunjukkan pada semua mata dunia bahwa Surabaya punya kebanggaan dan itu adalah Persebaya.
Salam satu nyali! Wani!