EJ – PSSI akan memiliki pengurus baru paling lambat 10 November 2016 seperti ditekankan FIFA dalam suratnya tertanggal 14 Oktober 2016 yang ditandatangani Sekjen Fatima Samoura. Pada tanggal yang bertepatan dengan Hari Pahlawan tersebut akan digelar Kongres Biasa PSSI di Jakarta untuk memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Komite Eksekutif masa bakti 2016-2020.
Berdasarkan hasil riset Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) SOS (Save Our Soccer), total ada 86 nama yang akan bertarung memperebutkan 15 posisi inti (satu ketua umum, dua wakil ketua umum, dan 12 Komite Eksekutif) di “kursi panas” PSSI. Rinciannya, sembilan calon Ketua Umum, 18 Calon Waketum, dan 59 calon Komite Eksekutif. Bila diringkas lagi sejatinya hanya ada 64 personil yang mencalonkan diri. Maklum, ada beberapa orang yang mencalonkan diri untuk tiga dan dua posisi sekaligus.
Kurniawan Dwi Yulianto, Eddy Rumpoko, dan Tonny Apriliani mencalonkan diri untuk tiga posisi: Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Komite Eksekutif (Exco). Sementara Benhard Limbong mencalonkan sebagai Ketua Umum dan Exco. Erwin Aksa dan Sarman L. Hakim sebagai Ketua Umum dan Waketum. Selebihnya, Juni Rachman, Hadiyandra, Yesayas Octavianus, Sihar Sitorus, Dodi Alex Nurdin, GH Sutejo, Llano Mahardika, Iwan Budianto, Joko Driyono, Hinca Panjaitan, Subardi, Andi Rukmana Karumpa, dan Erwin Dwi Budiawan sebagai Waketum dan Exco.
Yang menarik dari data yang dimiliki SOS total dari 64 nama calon yang ada, 50 persen lebih didominasi personal yang berlatar belakang politik. Rinciannya, 34 politisi, 22 orang praktisi sepak bola, empat orang berlatar belakang militer dan polisi. Hanya empat orang yang merupakan mantan pemain sepak bola.
SOS punya kriteria khusus untuk 15 orang yang akan mengisi posisi penting di PSSI. Pertama, siap jiwa dan raga menjalankan visi dan misi reformasi total sepak bola Indonesia. Kedua, Berwibawa, bermoral dan tegas. Ketiga, pejuang, bukan pencari uang dan menjadikan sepak bola sebagai kendaraan politik atau bisnis kelompok.Keempat, jujur, berkomitmen, dan professional. Dan, Kelima, transparan dan akuntabel dalam keuangan. “Untuk sepak bola Indonesia yang saat ini berada di titik nadir, PSSI harus dipimpin oleh ‘NABI’, bukan politisi. Kick out politic from our football,” kata Akmal Marhali, Koordinator SOS.
“NABI” sendiri singkatan dari Netral, Aktif, Berani, dan Integritas. Menurut SOS Netral berarti pengurus PSSI kedepan tidak membawa kepentingan kelompok, politik, dan bisnis tertentu seperti yang terjadi sebelumnya. Pengurus juga harus aktif. Tidak boleh lagi ada rangkap jabatan. Berani menegakkan konstitusi organisasi dan paying hukum yang berlaku. Tidak lagi tebang pilih dalam mengambil keputusan. Integritas berarti punya tanggung jawab moral dan professional dalam membangun sepak bola Indonesia menuju prestasi yang diidamkan.
“Mereka yang punya karakter ‘NABI’ akan fokus memimpin PSSI. Sepak bola Indonesia tidak boleh lagi dikelola sambilan. Mereka yang orang politik harus memilih antara politik atau sepak bola. Mereka yang punya jabatan pemerintahan juga harus memutuskan mundur untuk konsen mengurus bola. Mereka yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Provinsi atau CEO Klub juga harus memilih. Jangan lagi ada rangkap jabatan. Semua pengurus inti PSSI harus fokus untuk sepak bola,” Akmal menegaskan.
SOS melihat dari 64 calon yang terdaftar. Banyak yang rangkap jabatan. Ada pejabat pemerintahan seperti Eddy Rumpoko (Walikota Batu), Eddy Rahmayadi (Pangkostrad), dan Condro Kirono (Kapolda Jateng). Ada juga Presiden/CEO Klub seperti Iwan Budianto (Arema Cronus), Pieter Tanuri (Bali United), Dodi Reza Alex Nurdin (Sriwijaya FC), Yoyok Sukawi (PSIS Semarang), dan Gede Widiade (Surabaya Bhayangkara FC). Selain itu, ada Ketua Asprov seperti Gusti Randa (DKI Jakarta), Johar Ling Eng (Jawa Tengah), Duddy S. Sutandi (Jawa Barat), Yunus Nusi (Kaltim), Dirk Soplanit (Maluku), M. Iqbal Ruray (Maluku Utara), serta Sabaruddin Labamba (Sulawesi Tenggara).
Sementara orang politik atau yang berafiliasi dengan partai politik paling banyak. Sebut saja Hinca Panjaitan, Jackson Andre William Kumaat (Demokrat), Tony Apriliani, Erwin Aksa, Erwin Dwi Budiawan, Kadir Halid, Adang Gunawan (Golkar), Subardi (Nasdem), Robertho Rouw, Fery Djemy, R. Bambang Pramukantoro, Diza Rasyid Ali (Gerindra), Djamal Aziz (Hanura), dan Cheppy T. Wartono (PDI Perjuangan).
“Sudah waktunya sepak bola kita tak lagi dijadikan kendaraan politik. Sepak bola harus dikembalikan ke hakikatnya. Tidak lagi dipolitisasi terus menerus. Biarkan sepak bola menjadi milik para pelaku sepak bolanya,” kata Akmal. “PSSI harus diarahkan ke semangat pendiriannya pada 19 April 1930 di Yogyakarta sebagai alat persatuan dan kesatuan bangsa. PSSI juga harus dikembalikan ke makna singkatannya: PSSI (Profesional-Sportif-Sehat-Integritas). Ini penting untuk kita jaga bersama,” Akmal menambahkan.
Atas dasar itulah SOS berharap para pemilik suara di Kongres PSSI nanti bisa bersuara lantang untuk pembenahan sepak bola nasional. Kini, bukan lagi waktunya Kongres sebatas duduk dan bagi-bagi uang saku. Tapi, harus bener-benar dimanfaatkan sepenuhnya untuk perbaikan sepak bola nasional. “Sepak bola kita sebenarnya sudah jauh lebih maju dan berprestasi bila kita mau fokus mengelolanya. Sayangnya, keinginan untuk maju itulah yang selama ini tidak ada. Kongres kali ini harus benar-benar menghasilkan putusan fundamental terhadap permasalahan sepak bola Indonesia,” kata Akmal. “Nasib dan masa depan sepak bola Indonesia ditentukan di tangan 105 voters pada Kongres nanti. Karena kita kita berharap voters menggunakan nuraninya untuk masa depan yang lebih baik dan berprestasi seperti harapan masyarakat sepak bola Indonesia,” Akmal mengungkapkan. (*)