Serial Uston Nawawi (4): Uang dari Klub Lain buat Beli Rumah

Uston saat ditemui awal Oktober 2016.
Iklan

Karir Uston Nawawi semakin melambungkan. Dia menjadi sorotan di pentas sepak bola nasional.

***

Usia Uston Nawawi di 1997 masih 20 tahun. Tapi, dia sudah merasakan berada di puncak karir.

Pemain yang memulai karirnya dari SSB Warna Agung, Sidoarjo, tersebut sudah bisa mengantarkan Persebaya Surabaya menjadi juara Liga Indonesia. Di tingkat tim nasional, Indonesia nyaris dibawa meraih emas dalam ajang SEA Games di tahun yang sama.

Iklan

Sayang, tembakan Uston sebagai eksekutor kelima Pasukan Garuda, julukan Timnas Indonesia, gagal menjebol gawang Thailand.Sehingga, Indonesia pun harus puas dengan medali perak.

Performa ini ikut mendongkrak Persebaya. Sayang, usaha untuk mempertahankan gelar kembali Liga Indonesia kandas.

Bukan karena Green Force, julukan Persebaya, kalah dari tim lain. Kondisi politik yang tengah kacau dengan berujung tumbangnya rezim Orde Baru membuat kompetisi dihentikan di tengah jalan. Padahal, saat itu, Uston dkk tengah memimpin klasemen wilayah barat.

Setelah situasi aman dan terkendali, kompetisi kembali digulirkan. Persebaya pun mampu menembus babak final di musim 1998/1999.

Tapi gol Maradona dari Purwodadi, Tugiyo, satu menit menjelang pertandingan usai membuat Uston dkk gagal mengangkat trofi Liga Indonesia lagi. Dalam laga ini, Uston bermain penuh.

”Namun di ajang SEA Games, kami hanya mendapatkan perunggu. Kalah di semifinal oleh Vietnam dan menang adu penalti dari Singapura dalam perebutan perunggu,” kenangnya.

Dengan kematangan yang terus bertambah, Uston pun memikat klub lain. Salah satu yang serius meminangnya adalah PSM Makassar.

Apalagi, Pasukan Ramang, julukan PSM, menatap Liga Champions Asia. Mereka baru saja menjadi juara Liga Indonesia di musim 1999/2000. Sementara, prestasi Persebaya lagi jatuh dengan gagal menembus babak delapan besar.

”PSM mendekati saya di Jakarta saat TC Timnas Indonesia. Harga yang ditawarkan PSM jauh di atas Persebaya,” terangnya.

Dia menerimanya karena butuh uang untuk membeli rumah. Selama karirnya di lapangan hijau dari Persebaya hingga Timnas Indonesia, dia masih tinggal di rumah orang tuanya di Klagen, Wilayut, Sukodono, Sukoharjo.

”Uang dari kontrak di PSM saya belikan rumah di Taman Pinang. Memang nggak baru, tapi sudah senang bisa beli,” ujar Uston.

Di tim dari ibu kota Sulawesi Selatan tersebut dia berjumpa dengan rekannya di Persebaya, Carlos de Mello. Juga tandemnya di timnas, Bima Sakti.

Tapi, kepindahan ini membuat gempar. Pengurus dan suporter tak ingin pemain pujaannya tersebut berkostum tim lain.

”Nasib saya digantung. Di PSM, saya juga nggak pernah dimainkan. Itu hingga delapan pertandingan,” terang Uston.

Setelah kubu PSM dan Persebaya bertemu, lelaki yang sempat menimba ilmu S1 di sebuah universitas swasta di Surabaya itu pun balik ke Green Force. Hanya, dia tetap belum dapat kepercayaan untuk bisa turun ke lapangan.

Hingga dalam pertandingan melawan PKT Bontang di Gelora 10 Nopember pada 18 Februai 2001, menjadi moment bagi Uston. Susahnya pemain Persebaya menjebol gawang lawan membuat penonton berteriak kompak meminta Uston diturunkan.

”Ketika itu, Cak Narto (wali kota sekaligus ketua Persebaya Soenarto) langsung menyuruh orang untuk memainkan saya,” ujarnya.

Nah, saat diturunkan, keberuntunan memayungi lelaki yang kini berusia 39 tahun tersebut. Sontekannya saat di depan gawang PKT berbuah gol.

”Sejak itu, saya selalu dimainkan dari pertama. Persebaya sampai lolos hingga babak semifinal. Kami gagal lolos setelah dikalahkan Persija dengan 2-1 dan saya yang cetak gol,” ucap Uston.

Tapi petaka terjadi setahun kemudian. Tim sebesar Persebaya harus rela turun kasta karena degradasi di musim 2001/2002. (Bersambung) 

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display