“Aku membayangkan kalian membuat film dokumenter,” komentar saya kepada Ahmad Chusnuddin atau akrab dengan panggilan Kaji ketika beberapa bulan silam menyambangi Surabaya.
Film dokumenter yang seperti apa? Sebuah film dokumenter yang mencoba merekam hiruk pikuk menjelang Persebaya berlaga pada kompetisi resmi setelah tidak aktif dalam beberapa tahun belakang akibat dualisme dalam tubuh klub dan PSSI.
Bayangkan saja, euforia yang tercipta ketika Persebaya berkompetisi lagi. Mulai dari pukul 00.00 hingga pukul 24.00 coba direkam dalam proyeksi film dokumenter. Bisa dibayangkan pada tengah malam, apa saja yang dilakukan para suporter pada saat itu? Mungkin sedang berkumpul dengan kelompok komunitasnya entah menyiapkan bendera yang akan dibawa, tengah memiras bersama kawan-kawan atau hal-hal lain yang mungkin jauh dari dugaan kita pada umumnya. Belum lagi mungkin beberapa kampung tengah mem-branding nuansa hijau dengan mural kata-kata penyemangat.
Beberapa jam menjelang pertandingan, orang-orang mulai lalu lalang mencari tiket pertandingan yang kemungkinan besar akan habis dalam hitungan jam saja. Harga yang pantas untuk apresiasi sebuah pertandingan resmi setelah vakum beberapa tahun. Belum lagi konvoi menuju stadion mewarnai kota sebuah dahaga bagi insan-insan yang tengah menantikan momen ini.
Lalu siapa saja yang membuat film ini? Semua bonek adalah kontributornya. Bayangkan jika setiap bonek mengabadikan hari spesial pada saat itu, mulai dari ia bangun pagi. Apa yang dilihatnya di sekitarnya hingga perjalanan ia ke stadion sampai menjelang pulang keperaduan. Bayangannya semua itu berasal dari berbagai sudut mata angin. Mereka akan menuju satu titik koordinat yaitu stadion dan kembali ke titik koordinat masing-masing.
Sekali lagi ini hanya sebuah angan-angan semata ketika membicarakan Persebaya ke depan. Jika pada tahun 1996, Bonek dari utara (Jakarta –red) melintas stasiun Lempuyangan usai Persebaya menggondol Juara Liga Indonesia menyapa orang-orang di sekitar stasiun, “PSIM masuk lagi to……Sampai ketemu Persebaya lagi”. Kini giliran kami yang ganti menyapa kalian, “Sampai berjumpa Persebaya!”.
Segelas es milo bikinan Warkop Pitulikur telah habis bersamaan fragmen ceritaku tentang film dokumenter.
*) Dimaz Maulana, penggiat sepakbola
Foto: Joko Kristiono/EJ