Bonek Bukan “Bondho Nekat” tapi “Bondho dan Nekat”

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Enam tahun adalah waktu yang tidak pendek untuk Bonek berjuang melawan ketidakadilan atas tim kebanggaannya, Persebaya Surabaya. Semangat, perjuangan, ujian kesetiaan telah dilalui Bonek. Segala usaha dan pengorbanan materi bahkan nyawa telah diberikan Bonek hanya untuk melihat kembali Persebaya berlaga. Kini semua perjuangan itu membuahkan hasil manis. 8 Januari 2017, Persebaya resmi diakui kembali oleh PSSI. Seperti pepatah kuno “Tidak ada hasil yang mengkhianati proses”.

Tangis bahagia, euforia, riuh gemuruh menyambut kembalinya Persebaya baik di Surabaya maupun di Bandung. Namun euforia ini tak berlangsung lama, Bonek berduka dengan meninggalnya enam Bonek yang sedang berjuang ke Bandung untuk membela Persebaya.

Satu hari setelah Persebaya diakui PSSI, kabar tidak enak tentang Bonek kembali terjadi. Beberapa anggota Bonek menjarah dan merusak beberapa warung di GOR Pajadjaran Bandung. Jelas ini adalah berita yang empuk bagi media-media pemberitaan. Berita ini cepat viral dari pada berita Bonek yang tertib dan menjaga kebersihan selama di Kota Bandung.

Seyogyanya kembalinya Persebaya harus diiringi dengan perubahan positif sikap Bonek yang sudah dicap kelam di masa lalu. Coba kita pikirkan dan renungkan sekali lagi, untuk apa Bonek berjuang selama enam tahun lebih untuk bisa melihat kembali Persebaya berlaga jika sikap Bonek masih negatif dan masih belum bisa menjadi supporter yang dewasa nan elegan?

Iklan

Bonek sudah tertinggal beberapa langkah dari suporter-suporter lain di Indonesia. Suporter Sleman, Jogja, Bali, Bandung, Solo, Semarang, atau bahkan Lamongan. Enam Tahun Bonek hanya bisa sebatas berjuang merebut dan menghidupkan kembali Persebaya, sedangkan suporter lain sudah menata diri, berkreasi, berinovasi untuk membangun klub kebanggaannya. Maka tidak ada alasan bagi Bonek untuk tidak mengejar ketertinggalan ini. Langkah pertama jelas lupakan masa lalu bergerak menata diri.

Nama besar Bonek memang fenomenal. Tidak sedikit orang yang lebih mengenal bonek dari pada Persebaya. Salah satu contoh, dulu ketika Persebaya bermain, seorang Bonek dengan mengenakan atribut hijau-hijau mengisi bahan bakar kendaraan di sebuah pom bensin lalu ada seseorang yang bertanya dalam bahasa jawa “Bonek main ta mas?” bukannya “Persebaya main ta, mas?”  Ada satu hal yang harus Bonek ingat bahwa nama Bonek tidak lebih besar dari pada nama Persebaya. Bonek ada karena Persebaya.

Bonek dan kultur sepakbola Surabaya memang sangat sulit dipisahkan. Aura negatif masih menyelimuti sampai sekarang. Coba kita perhatikan lagi beberapa kultur Bonek dalam mendukung Persebaya. Tidak beralaskan kaki (nyeker), nyanyian rasis atau hujatan ke suporter lain, nebeng atau nggandol, konvoi motor atau bleyeran, tidak membeli tiket, panjat stadion, dan mencari jebolan pintu stadion.

Penampilan Bonek dalam mendukung Persebaya sebenarnya bukan masalah, nyeker pun tidak ada yang melarang yang penting datang ke Stadion membeli tiket karena Persebaya membutuhkan finansial dari tiket penonton, Persebaya membutuhkan suara lantang yel-yel Bonek untuk membakar semangat para pemain bernyanyi dengan suara lantang hanya untuk Persebaya bukan untuk suporter klub lain dan juga Persebaya tidak membutuhkan bleyeran motor di depan stadion. Apabila ada alasan tidak ada materi untuk membeli tiket, kecintaan dan ingin mendukung persebaya maka terpaksa panjat stadion, mencari jebolan, atau nebeng (nunut) maka sebaiknya tidak datang ke stadion. Mencintai Persebaya bukan begitu caranya, tidak ada tiket maka tidak bisa menyaksikan Persebaya, No Ticket No Game sepertinya ini yang perlu dikampanyekan dan perlu diingat Pendapatan sebuah klub sepakbola yang terbesar adalah dari penjualan tiket penonton.

Bonek, istilah ini sejak pertama kali diciptakan oleh Jawa Pos pada tahun 1987 memang dikenal artinya Bondho Nekat (hanya bermodal nekat) yang menggambarkan kenekadan Suporter Persebaya yang berani awaydays ke Jakarta untuk mendukung Persebaya melawan Persija. Padahal pada saat itu Suporter Persebaya untuk berangkat ke Jakarta tidak sebatas modal nekat, mereka membayar uang Rp.30.000 (jika disetarakan sekarang berkisar Rp. 200.000) kepada Jawa pos sebagai uang transportasi. Jadi arti Bonek itu sebenarnya Bondho dan Nekat (bermodal dan nekat).

Harapan untuk menjadi supporter yang dewasa nan elegan, menjauhkan dari kesan negatif, menjadikan stadion tempat yang nyaman dan aman untuk semua kalangan ada di tangan Bonek itu sendiri. Pilihan ada dua: Berubah atau tidak sama sekali.

Salam satu nyali! Wani!

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display