“Dari kecil saya tidak diajarkan untuk melupakan sejarah”
Usia 89 tahun bukanlah usia yang muda bagi tim berjuluk “Bajol Ijo” Persebaya Surabaya dalam karir sepak bola Indonesia. Sempat dibekukan selama beberapa tahun tidak menyurutkan kuantitas pendukung tim kebanggaan rakyat Surabaya ini. Pendukung yang mengidentifikasikan dirinya atas nama “Bonek” tersebut tercatat sebagai salah satu suporter dengan basis massa terbesar dalam dunia persepak bolaan tanah air.
Disatukan lewat kalimat prinsipil solidaritas bersama, yakni “Salam Satu Nyali, Wani!”, mereka telah menjelma menjadi tidak hanya segerombolan pemadat tribun, melainkan ruh dan jiwa bagi dinamika Persebaya. Tampaknya kalimat itu telah membawa spirit Arek-Arek Bonek yang tetap melekat tanpa terkikis sedikitpun, meski harus dihadapkan dengan laju cepat nan ganasnya gelombang globalisasi.
Globalisasi, tanpa dipungkiri, telah turut serta membawa dan memunculkan angin modernisasi di semua lini, tak terkecuali dunia sepak bola Indonesia. Implikasi yang bisa dirasakan paling nyata adalah tumbuh suburnya berbagai gaya dan model terbaru oleh para suporter Persebaya, entah casual maupun holigan. Namun di sisi lainnya, gaya dan model terbaru tersebut berjumpa juga dengan gaya suporter yang masih sama seperti dulu saat Persebaya pertama ada: bergaya biasa saja dan natural apa adanya.
Semaraknya bermacam gaya demikian bukan lantas merubah lagu pemersatu mereka, justru semboyan “Salam Satu Nyali Wani” terlihat lebih dahsyat dan terdengar lebih kuat, juga tentunya tetap melekat erat. Apa yang mendasari hal demikian? Bukankah globalisasi acap kali membawa dampak pada tersingkirnya tradisi? Untuk menjawabnya, tampaknya penulis perlu. Hal ini dilandasi visi luhur pendukung tim berjuluk “Bajul Ijo” yang akan terus melestarikan sejarah tanpa menolak modernisasi demi terwujudnya suporter yang penuh kreasi dan taat konstitusi, suatu hal yang diperlukan untuk menghapus berbagai pandangan negatif masyarakat terhadap “Bonek”.
“Salam Satu Nyali Wani” bukan lahir dari ruang kosong, penuh falsafah yang dipikirkan secara mendalam oleh pendahulu kita. Kata “Wani” yang dalam bahasa Jawa berarti “Berani” menunjukan bahwa Bonek selalu identik dengan spirit nyali berani. Hal itu sejalan dengan apa yang kita lihat dalam fenomena sejarah masa lalu maupun hari ini. Di masa lalu, spirit “Wani” Arek-Arek Suroboyo tidak begitu saja turun dari langit. Tetapi termanifestasikan selama masa menghancurkan praktek dan mental zaman penjajahan.
Lewat tinta emas 10 November 1945, tampaknya merupakan sebuah “pelecehan pikir” terhadap Arek-Arek Suroboyo jika siapa pun tidak mengatakan “hormat atas nyali beranianmu” dan “kenekatanmu”. Bagaimana tidak, saat itu sejarah dunia melihat Surabaya yang hanya kota menghadapi Inggris sebagai negara dengan status juara Perang Dunia kedua, sungguh merupakan kenekatan, jika nelayan dan petani menghadapi militer terlatih . Aksi heroik 71 tahun silam itu membuat kita menyadari, bahwa sampai sekarang pun semangat “Wani” tersebut terus menjadi spirit paten arek-arek Suroboyo.
Spirit tersebut juga lah yang melatar belakangi beberapa perjuangan dan mengawal kebanggaan sampai hari ini. Tengok saja aksi Gruduk Jakarta, Bela Persebaya, Gruduk Bandung hingga budaya “tret tet tet” mengawal kebanggaan dalam pertandingan di berbagai kota luar Surabaya. Sekali lagi harus dikatakan, bahwa spirit “Salam Satu Nyali Wani” kota Pahlawan tersebut tak akan luntur terkikis zaman.
Maka pada hari ini, meski dihadapkan dengan modernisasi yang sangat gencar pada hampir seluruh lapis kehidupan, ditambah realitas bahwa beberapa elemen suporter Persebaya memiliki gaya yang berbeda-beda dalam mengekspresikan cara mendukung tim kebanggaan, tetapi Bonek, elemen casual maupun holigan, atau lainnya, sebagai bagian ruh dari Persebaya tidak pernah hilang terombang-ambingkan apalagi melahirkan perpecahan, melainkan tetap konsisten dengan spirit “Salam Satu Nyali Wani”, semboyan yang tetap dipertahankan dan dijaga kelestariannya, sama halnya dengan menjaga kesakralan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Salam Satu Nyali, Wani!
*) M. Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class BonekJogja