Persebaya!
Green force! Green force! Green force!
Begitulah teriakan Bonek ketika jalannya pertandingan dimulai, dengan semangatnya yang membara, teriakan demi teriakan yang tak takut dengan hilangnya pita suara, demi fanatismenya seorang pendukung atas loyalitas bahkan totalitasnya.
Bonek sekarang sudah mulai menunjukkan taringnya kembali, seiring dengan bangkitnya Persebaya di kancah sepak bola Indonesia paska dibungkam kurang lebih lima tahun. Selama penzaliman itu, harapan bonek tak pupus begitu saja, bahkan semakin berlipat ganda. Dengan gagah perkasa mereka berani mempertaruhkan dan memperjuangkan segalanya demi Persebaya. Seakan berlalu tanpa mendengar bualan isu yang menyebar ke berbagai pelosok di penjuru dunia, bahwa “Bonek sangat menyeramkan, anarkis, dan slengean, mereka telah sampai kepada pintu pembebasan sang kebanggaan, Persebaya wes tangi turu (Persebaya sudah bangun dari tidurnya).
Berbagai langkah digunakan untuk memberi sambutan kepada ‘Bajul Ijo’, mulai dari ruang berlaga sampai dengan komponen terkaitnya, tak terkecuali Bonek, suporter yang telah memperlihatkan heroismenya bak Spartacus yang membebaskan budak dan sandera. Terkait dengan Bonek, hampir semua perhatian tertuju pada justifikasi yang dilabeli oleh oknum buta, terutama media mainstream. Seakan ada narasi besar untuk membuat nama Bonek tercemar jelek bahkan kriminal di mata para pecinta dan peneliti sepak bola Indonesia.
Sampai sini penulis ingin menekankan diksi, bahwa sejujurnya Bonek tidak pernah bertindak melebihi batas apalagi berbau kriminalitas. Tentu ada orang yang bertanya, “lantas bagaimana dengan realita tawuran dan penggasakan ‘barang’?”. Jawabnya sederhana, yakni para oknum demikian bukanlah Bonek bi makna substantifnya, melainkan segelintir orang yang memanfaatkan nama Bonek sembari berniat mendistorsi –meminjam Habermas– fakta akar sejarah.
Selanjutnya demi memperlancar gerak ‘Bajul Ijo’ dengan membenahi jajaran pemain dan pelatih, para suporternya pun musti berbenah diri. Hal ini tidaklah berarti mengalihkan realita Bonek yang pernah buruk ke sifat terpuji, sekali lagi bukan demikian. Namun lebih tepatnya adalah upaya menghilangkan benalu dengan membuat identitas yang berlaku sebagai penegasan terhadap sifat asli yang lahir dari sesepuh Bonek sejak awal mula kehadirannya di 1989. Terkait itu, penulis, seperti halnya sedulur yang sudah sadar, ingin memberi garis pemisah yang tegas antara ‘Bondo dan Nekad’ dengan ‘Bondo Nekad berujung Maling’. Untuk mensukseskan niat baik tersebut, maka ditiupkanlah angin kebaikan bersama dengan rasa wanginya yang khas, yakni WANI BERUBAH.
Ya, dengan vakumnya Persebaya selama itu terdapat banyak manfaat yang bisa diambil untuk melawan isu-isu yang memojokkan atmosfer laga. Kita musti sadar bahwa Bonek yang selama ini dikambing hitamkan atas ragam masalah, justru merupakan pionir utama di balik tersenyumnya Persebaya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jikalau Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga, dalam laga “Homecoming Game” berkata, “tanpa perjuangan Bonek mustahil Persebaya kembali ke kasta tertinggi”. Ia sadar betul rentetan kisah manis yang ditunjukkan Bonek mulai dari terbentuknya nama itu, perjuangan di jalan keadilan, sampai dengan pengawalan berbagai laga paska kembalinya Persebaya terutama Piala Dirgantara, laga saat Bonek dari berbagai wilayah ikut memberi sumbangsih untuk mendukung tim kebanggaan mereka berbuah manis dengan terangkatnya piala. Demikian itu telah menegaskan jikalau dengan kekayaan idenya sebagai muara dari wani berubah, Bonek berhasil menunjukkan eksistensi suporter Indonesia yang tak terlepas dari rasa ‘sejarah’. (*)
*) Riyadlus S., Kalijaga Class Bonek Jogja