Persebaya, deretan sembilan huruf biasa bagi orang-orang biasa yang menganggap tidak ada yang luar biasa. Bagi Bonek, tentu tidak sesederhana itu. Ribuan versi rangkaian kata-kata definisi tentang Persebaya menandakan betapa luar biasanya sembilan huruf yang dianggap biasa bagi sebagian kalangan yang kesulitan memahami arti sebuah cinta.
Tuhan tak mungkin tak punya alasan menggerakkan mbah-mbah kita hampir sembilan dekade lalu untuk berhimpun mendirikan pondasi harga diri Arek Suroboyo yang dipandang sebelah mata oleh pemerintahan kolonial kala lalu.
Fleksibilitas “sembilan huruf” mengarungi zaman bersama lika-likunya kini menjelma menjadi kebanggaan arek-arek. Arek-arek yang dijuluki Bonek yang mengangkat akronim jawa Bondo Nekat sebagai representasi tanpa batasnya arek-arek mengawal Persebaya di setiap arena pertarungan.
Cinta adalah kata kerja dari Bonek ke Persebaya, dan itu bukanlah basa-basi bualan semata. Kecintaan yang dibuktikan dengan pengorbanan meskipun kadang darah merah segar mau tak mau jadi tumpahan.
Tak sedikit pun arek-arek mengharapkan ganjaran atas semua pengorbanan. Hanya saja, kewajiban bertarung ngeyel sepenuh hati demi menjaga warisan harga diri sampai titik nadir terakhir yang akan mengobati semua loyalitas dan dedikasi.
Bonek dan Persebaya adalah jantung hati yang silih berganti berirama berbalas-balasan mengimbangi. Tak ada apa-apanya cerita Romeo Juliet atau Galih dan Ratna jika dipadankan keromantisan Bonek dan Persebaya atau Persebaya dan Bonek.
Jangan pernah bertanya, mengulangi pertanyaan yang sama dan repot-repot mencari jawaban seberapa besar kadar kecintaan yang saling dituangkan antara keduanya. Suratan pena di lembaran pun tak mampu untuk menjawabnya. Satu tindakan saja pun tak cukup untuk menjadi landasan atas semua bidasan. Lihainya lisan tak cukup mencurahkan tanda tanya besar. Karena, Bonek dan Persebaya adalah sebuah sebab yang tak butuh mengapa. Sebuah kenikmatan Tuhan yang harus dijaga bersama-sama. (*)