Bondo Nekat. Secara hakikat memang Bonek adalah pendukung kesebelasan bersejarah Persebaya Surabaya. Namun Bonek tak se-elementer itu. Jika menelisik sedikit lebih mendalam, terdapat perspektif-perspektif luar biasa dan “rahasia” di dalam tubuh Bonek. Dalam konteks suporter saja, Bonek sangat bertolak belakang dengan suporter-suporter dari Sabang sampai Merauke yang kebanyakan adalah suporter yang dibentuk secara struktural.
Terciptanya Bonek tak lepas dari nilai rangkaian dominan di rentang waktu yang memang tercipta dari pola pikir, mentalitas, dan perilaku yang lantas membentuk kemasan karakter budaya yang sangat mengakar. Dengan segala keunikannya, Bonek, “pasukan” hijau dari timur daratan Jawa, menjadi sebuah karakteristik yang masih sedikit banyak tengah mewarisi kakek leluhurnya.
Menarik sedikit tentang struktural-kultural dalam konteks suporter, kulturalitas Bonek dalam segala tindak sesuatunya menjadi sebuah ke-eksklusifan spesial yang tak dimiliki suporter-suporter kebanyakan, bahkan di dunia.
Struktur lingkaran-lingkaran suporter bagai organisasi mainstream yang segala sesuatu hasil ketetapannya turun dari atas ke bawah dan sepertinya harus dipatuhi oleh “populasinya” semacam sebuah sistem pemerintahan. Tapi tidak bagi Bonek. Tak mempunyai pemimpin tunggal, namun di sebuah situasi kondisi tertentu, Bonek mampu menghimpun diri dan berada di atas satu komando.
Lantas atas dasar apa yang dengan padu mampu menggerakkan? Kultur budaya timur yang masih dipegang teguh menjadi satu garis haluan dalam melakukan segala denyut bahwa rasa saling percaya, tepo seliro, menghormati antara satu sama lain, sikap low profile high product dan juga di satu nasib serupa yang terbalut dalam rasa paseduluran penuh cinta walaupun dengan beragam latar belakang dan juga darah daging yang berbeda pula. Rasa paseduluran itulah senjata pamungkas dan benteng terakhir Bonek adalah bulatan cinta besar yang mengitari dan melindungi dari setiap tantangan dan rintangan yang dihadapi.
Tak jarang perbedaan pendapat dalam diskusi untuk memutuskan sesuatu terjadi. Tetapi hal itu disikapi dewasa khas Jawa Timuran dengan saling memahami bahwa perbedaan itu adalah kekayaan dan menunjukkan betapa Bonek adalah wajah demokrasi yang sesungguhnya. Rasa persaudaraan yang berdiri di atas perbedaan itulah yang menjadi pembeda kontras antara Bonek dengan yang lain. Itulah kunci mengapa Bonek sangat sulit dan hampir mustahil untuk “dikalahkan”. Hal semacam dan sedasar ini yang kadang tak dipahami oleh para penguasa yang semena-mena.
Seorang Budayawan sekelas Emha Ainun Nadjib pun pernah berujar bahwa Bonek sangat bepotensi bagi kemajuan bangsa. Bonek adalah wajah Indonesia yang sesungguhnya di satu sisi Bonek memiliki kadar ketauhidan yang tinggi yang kadang kala kita kalah akan hal itu.
Pengibaratan dengan sebuah pohon yang agung, Bonek adalah bibit unggul yang mengakar tumbuh dari tanah subur dan terus berkembang menjadi sebuah pohon besar yang rindang sejuk nan mengayomi rerumputan yang mengitari di bawahnya. Tak ada yang bisa menebak bahkan memperhitungkan secara statitik sebesar apa batang pohon yang akan tumbuh, berapa batang yang akan menjulang dan juga berwarna hijau seperti apa yang akan muncul nantinya. Yang mampu dilakukan yakni menjaga dan merawat “pohon besar sakral” itu agar tetap menyejukkan dan memberikan manfaat kebahagiaan besar bagi yang lain.
Semoga saja. (*)