18 juni 2017 nanti genap sudah usiamu menjadi 90 tahun. Untuk ukuran manusia, angka tersebut sudah sangatlah tua dan renta. Limpahan gelar, predikat klub terbaik di Indonesia, klub penyumbang pemain timnas terbanyak, tim pertama yang juara 2 kali Ligina bahkan ketika statusmu tak diakui dan berusaha dimatikan pun sudah pernah dialami hingga sekarang bangkit lagi dan memberikan euforia tersendiri di persepakbolaan nasional.
Persebaya di era kini jauh lebih mapan dibanding beberapa tahun silam. Masuknya Jawa Pos sebagai investor menjadi titik balik kebangkitan klub kebanggaan warga kota surabaya tersebut. Seolah menjadi juru selamat bagi Persebaya, Jawa Pos yang merupakan salah satu perushaan media massa terbesar di Indonesia perlahan mulai menjawab berbagai persoalan yang ada di tubuh persebaya era sebelumnya. Pelunasan hutang gaji pemain yang mencapai Rp 6,7 miliar, renovasi lapangan Karanggayam yang notabene menjadi tempat munculnya bibit-bibit muda potensial seperti Andik Vermansyah dan yang terbaru Evan Dimas Darmono, pergantian struktur pengurus yang lebih profesional dan berkompeten, hingga “branding” klub sepak bola yang bisa dibilang mewah dan menjual meskipun hanya berlaga di Liga 2 nasional.
Hal ini berbeda di beberapa tahun belakangan di mana Persebaya seakan hanya memiliki sejarah dan nama besar saja tanpa didukung manajemen yang profesional. Meskipun 13 tahun silam Persebaya yang dihuni skuad “The dream team” mulai Hendro Kartiko, Bejo Sugiantoro, Danilo Fernando, hingga striker haus gol macam Gendut Doni, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Carrasco mampu mengangkat trofi ligina X di Stadion legendaris Gelora 10 November dan menasbihkan diri sebagai kampiun di Indonesia.
Itu tentang Persebaya 13 tahun silam dengan jajaran manajemennya yang mayoritas masih memiliki kedekatan dengan hal “politik” dan dana APBD yang begitu royal dikucurkan untuk klub sepak bola.
Satu hal yang patut diapresiasi dari Presiden Persebaya sekarang bahwa Persebaya tidak akan dibawa ke ranah politik dan tentunya ini sangat bertolak belakang dengan masa silam. Semoga tidak hanya lisan belaka karena Persebaya pernah merasakan tersiksanya menjadi korban kepentingan politik.
Tak hanya manajemen saja yang berperan penting terhadap kondisi Persebaya saat ini. Suporter pun layak diapresiasi dengan semangat juang, loyalitas, dan kesetiaan yang tentunya tak usah diragukan lagi. Bonek tribun utara yang tak henti-henti bernyanyi untuk membakar semangat pemain di lapangan 2×45 menit dan koreo aktratifnya, Bonek tribun kidul yang identik dengan giant flag “ndas mangap”-nya, hingga Bonek tribun timur yang sudah mulai menghilangkan chant rasisnya. Tanpa mereka, Persebaya bukan apa-apa karena suporter salah satu unsur terpenting yang tak bisa dipisahkan dari klub sepakbola.
Untuk manajemen, jangan jadikan suporter sebagai customer yang memanfaatkan fanatisme demi meraup untung yang sebesar-besarny. Dan untuk para suporter, tetap budayakan “No Ticket No Game” untuk keberlangsungan Persebaya
Mengutip quote salah satu legenda MU, Eric Cantona: “Kamu bisa mengganti istrimu, politikmu, hingga agamamu, tapi kamu tidak bisa merubah klub favoritmu.”
Dan penulis sepakat dengan kalimat terakhir Joshua Suherman ketika stand up comedy di televisi swasta dua tahun silam, “Persebaya, aku sayang kamu.”
Selamat ultah Persebaya yang ke-90
LONG LIVE PERSEBAYA!
SALAM SATU NYALI!
*) Eka Prasetya, Mahasiswa UB pecinta Persebaya