Dulu, sekitar 18 tahun yang lalu, aku hanya bisa merasakan kebanggaan itu lewat radio kotak kecil yang aku punya. Siaran live TV sangat jarang. Apalagi media sosial atau pun YouTube.
Hanya lewat Radio Gelora Surabaya (RGS) aku bisa merasakan atmosfir pertandingan Persebaya. Penyiar RGS sangat cepat dan tanggap dalam menyiarkan pertandingan Persebaya secara langsung, baik itu di laga home atau away untuk wilayah Jawa Timur.
Radio itu selalu aku bawa meski aku sedang bermain. Kawan-kawan sebayaku sangat antusias mendengarkan radio jika Persebaya bertanding. Saat gol terjadi, teriakan kami membuat aktifitas bermain sejenak berhenti untuk merayakan euforia gol Persebaya. Kadang, raut sedih tampak tersirat dari wajah kami saat persebaya menelan kekalahan.
Orang tuaku sempat melarangku datang langsung ke Stadion Gelora 10 Nopember untuk menyemangati para punggawa Persebaya. Mungkin karena faktor usia yang terbilang masih kecil. Waktu itu, aku masih duduk di bangku SD dan tidak ada yang mendampingiku.
Setelah bertambahnya usia, saat aku sudah sekolah SMP, aku memberanikan diri untuk meminta izin ke orang tuaku untuk menonton langsung Persebaya. Izin telah aku kantongi. Tapi, melihat kondisi keluargaku yang saat itu bisa dibilang masih susah, aku tak ingin memberatkan mereka dengan meminta uang untuk tiket. Mendapat izin untuk bisa berangkat ke Tambaksari saja sudah cukup bagiku.
Aku bisa melihat Persebaya jika aku bisa menyisihkan uang jajan sekolah. Uang jajan bermainku aku sisihkan agar bisa naik angkot. Bahkan aku nebeng naik kendaraan temenku. Kami patungan untuk membeli bensin buat sepeda motor milik bapak temanku. Kadang aku nggandol truk jika tidak ada sepeda motor. Uang jajan yang aku sisihkan aku gunakan untuk membeli tiket pertandingan, makanan, dan minuman.
Tahun demi tahun telah ku lalui bersama Persebaya. Ada masa yang sangat indah saat Persebaya juara. Ada juga masa sulit saat persebaya harus terdegradasi.
Petaka pun datang. Dualisme Persebaya dan PSSI membuat kebanggaanku mati suri. Bukan hanya itu saja yang aku rasakan. Persebaya bagaikan sahabat kecilku sampai aku dewasa kini telah hilang dan tidak lagi menemani hari-hariku.
Kini aku berpikir, apakah sahabatku, kebanggaanku, jiwa ragaku bisa kembali mewarnai hari-hariku yang indah? Apakah anakku yang baru beberapa bulan terlahir ke dunia bisa merasakan apa yang ayahnya rasakan dulu? Apakah keponakanku yang masih SD, yang sudah aku ajak mendukungmu, bisa berteriak mendukungmu lagi saat kau berlaga? Dan apakah keponakanku bisa bercerita dengan bangga kepada teman-temannya saat masuk sekolah setelah mendukungmu seperti apa yang aku lakukan dulu?
Persebayaku, engkau bukan sekedar tim sepak bola bagiku. Tapi, engkau adalah sahabat dari kecilku yang selalu menemani hari-hariku hingga aku beranjak dewasa dan berkeluarga.
Aku merindukanmu sahabat kecilku, Persebaya.
*) Supriyatno Konyel (ini_*****@yahoo.com)