Tujuh tahun yang lalu, tepatnya 6 Mei 2009, terjadi kerusuhan suporter di Gresik pada pertandingan Persebaya melawan Gresik United. Pelakunya adalah Bonek. Tidak bermaksud membahas salah atau benar, tetapi kerusuhan tersebut dipicu atas dasar kekecewaan yang mendalam. Sepanjang Jalan RA Kartini, banyak yang menjadi korban amukan. Saat itu, kami dan rombongan pulang ke Menganti dengan penuh penyesalan. Entah menyesal untuk apa, karena sebagai pendukung persebaya kami tentunya kecewa dengan hasil pertandingan. Namun di sisi lain, sebagai warga Gresik, kami menyayangkan adanya pengerusakan di kota kami.
Satu bulan setelah kejadian, masih banyak warga yang mengutuk kerusuhan itu. Tampaknya, dendam masih tumbuh subur. Hidup di Gresik, yang tentu saja dihuni mayoritas suporter tuan rumah (Ultras Gresik), membuat kami susah melangkah dalam banyak hal. Ada desakan-desakan di sekitar yang memaksa kami untuk berkumpul, membahas, dan memutuskan.
Saya ingat betul, langit Gresik malam itu sangat cerah. Jumat malam, 3 Juli 2009 kami sepakat menamakan komunitas kami Bonek Gresik. Dengan penuh kesadaran, bahwa jauh sebelum tahun itu, Bonek telah lama hidup di kampung-kampung Gresik. Seperti di daerah Manyar, Kebomas, Cerme, Menganti, Driyorejo, dan tempat-tempat lainnya. Bogres, nama itu kami pilih sebagai upaya untuk menyatukan semua lapisan pecinta Persebaya yang hidup di Gresik.
Terlepas dari sejarah awal mula Bonek berada di Gresik, komunitas bernama Bogres ini dirintis kurang dari 10 orang saja. Mereka masuk ke kampung-kampung hingga ke alun-alun kota. Di kota, mereka bertemu dengan lapisan Bogres yang lain. Yang entah kebetulan atau tidak, faktanya mereka juga merintis sebuah kelompok untuk memberdayakan keberagaman Bonek yang ada di Gresik.
Bogres dibentuk dengan banyak doa. Salah satunya agar Bonek di Gresik lebih mudah untuk dikoordinir, disatukan semangatnya, dan menjadi sebuah keluarga baru tentunya. Dengan slogan santun dan bernyali, Bogres tidak mau hanya berdiam diri. Pelbagai acara juga turut diinisiasi, seperti aksi Cap Jempol Darah sebagai bentuk penolakan tanding ulang Persebaya melawan Persik pada 2010. Kemudian gerakan menjadi lebih besar dengan banyaknya komunitas dan penggerak Bonek lainnya yang berjalan di satu rel yang sama. Dengan menamakan diri sebagai Keluarga Besar Bonek Bersatu, yang hingga kini semangatnya masih terus hidup, yakni #SavePersebayaNow .
Menjadi Bonek, bagi kami adalah sebuah pilihan. Lebih dari sekedar kalimat. Kami datang karena panggilan jiwa, bukan karena salam satu jiwa, yang dulu sering kami teriakkan.
Tujuh tahun telah berlalu. Komunitas menjadi semakin besar. Hal ini didukung oleh bentuk kota Gresik yang memanjang. Juga kesibukan masing-masing pengurus yang harus regenerasi. Bogres tidak berdiri sendiri lagi. Muncul komunitas-komunitas Bonek di Gresik dengan semangat yang sama. Mulai dari utara hingga selatan. Yang dulu tersentral, kini komunitas-komunitas ini bisa mandiri. Saat ini, yang mereka rasakan masih sama. Sebuah kerinduan untuk Persebaya yang tak ada habisnya. (*)
Brigata Bonek Gresik