Pengalaman Pertama Mbonek, Dari Tegal, Salah Jurusan, Hingga Perut Kelaparan

Stadion GBT. (Foto: Tribunnews.com)
Iklan

Saya menyukai Persebaya sejak masih duduk di bangku SMK. Namun saat itu saya belum bisa mendukung langsung Persebaya di stadion. Saya hanya bisa melihat pertandingan Persebaya melalui televisi. Kecintaan saya terhadap Persebaya membuat saya memiliki keinginan besar untuk bisa mendukung langsung di stadion. Karena itu saya berpikir setelah lulus SMK, saya bisa kuliah di Surabaya. Dan keinginan saya terwujud. Setelah lulus, saya mendapat beasiswa di perguruan tinggi swasta di Surabaya.

Setelah terwujudnya keinginan saya untuk bisa kuliah di Surabaya. Saya juga ingin mewujudkan keinginan untuk bisa mendukung langsung Persebaya di stadion. Akhirnya saya mewujudkan keinginan itu saat libur tengah semester. Waktu itu tahun 2012. Saya menghabiskan libur kuliah untuk kursus bahasa inggris di Pare, Kediri. Menjelang berakhirnya libur kuliah, ada pertandingan antara Persebaya 1927 vs Timnas Indonesia yang akan digelar di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya. Rencana untuk datang ke stadion pun sudah matang.

Mbonek di Hari Pertandingan

Akhirnya hari pertandingan tiba. Saya pergi meninggalkan Pare menuju Surabaya bersama seorang teman yang berasal dari Depok, Jawa Barat. Menggunakan bus AKAP sampai terminal Bungurasih sekitar jam 6 sore. Karna ini pertama kalinya saya mbonek dan belum terlalu paham daerah Surabaya, maka saya memutuskan untuk mencari angkutan menuju Benowo.

Iklan

Ternyata tak ada angkutan dari terminal Bungurasih menuju Benowo. Saya memutuskan untuk naik ojek. Saya meminta diantar ke Stadion GBT. Namun ternyata tukang ojeknya tak tahu Stadion GBT dan malah mengantarkan saya ke stadion Gelora 10 November (G10N). Tukang ojeknya juga tak tahu ada pertandingan Persebaya.

Akhirnya si tukang ojek itu bertanya ke tukang becak di halaman Stadion G10N. Setelah bertanya, barulah tukang ojek itu tahu di mana Stadion GBT. Setelah tahu lokasi yang ternyata di Benowo, si tukang ojek itu meminta ongkos tambahan karena lokasinya jauh. Saya pun tak punya pilihan lain. Demi bisa berjumpa Persebaya, saya setujui permintaan tukang ojek. Dan berangkatlah saya dan tukang ojek itu menuju Stadion GBT.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, sampailah kita di halaman Stadion GBT yang sudah dipadati Bonek. Pertandingan telah berlangsung. Saya terlambat beberapa menit. Gemuruh suara ribuan Bonek yang ada di dalam stadion terdengar dari halaman stadion. Apa yang saya rasakan tak bisa ditulis, hanya bisa diekspresikan dan dibayangkan.

Akhirnya untuk pertama kalinya saya bisa masuk stadion dan bisa berada di antara ribuan suporter untuk mendukung klub kebanggaannya. Namun saya masih bingung bagaimana membeli tiketnya. Untungnya setelah membayar ongkos ke tukang ojek, calo langsung mendekat dan menawarkan tiket. Tak berpikir panjang, langsung saya beli tiket itu. Karna pertandingan sudah dimulai, jadi calo menjualnya dengan harga aslinya dan tak menambahkan sedikitpun. Setelah tiket ada di tangan, bergegaslah saya masuk stadion GBT. Rasa penasaran saya terhadap suasana tribun akhirnya terobati.

Uang Habis Demi Persebaya

Cerita saya belum habis. Selesai pertandingan, saya langsung keluar stadion. Saya bingung bagaimana saya pulang. Dengan membawa tas berisi pakaian yang lumayan berat. Saya berjalan menuju jalan raya. Saya masih tak tahu jalan. Tak tahu angkutan menuju pusat kota Surabaya. Yang saya pikirkan saat itu bagaimana caranya supaya bisa sampai di Stasiun Gubeng. Karena waktu itu saya harus pulang ke Tegal. Saya belum punya teman di Surabaya. Padahal sudah setengah tahun berada di sana.

Saya duduk di samping polisi dan bertanya “Pak, kalau ke Surabaya ke kanan apa ke kiri?”. Polisi itu menjawab “Ke kiri mas”. Karena kalau keluar dari stadion jalan ke arah kanan itu ke Gresik. Polisi itu tanya “Masnya mau ke mana?”, saya jawab “mau ke Surabaya pak”. “Lho, masnya rumahnya mana?” tanya polisi, saya jawab “Saya asli tegal pak”. “Mas ngapain jauh-jauh dari Tegal ke sini?” tanya polisi lagi. “Mau ndukung Persebaya, pak,” saya jawab. Percakapan hanya sampai disitu.

Hampir setengah jam saya duduk melihat ribuan Bonek melintas di depanku. Ada yang berjalan kaki, ada yang naik motor, ada yang “nggandol” truk. Kemudian saya melihat ada beberapa bonek yang “nggandol” mobil Damkar. Saya sempat ingin ikut “nggandol” juga. Karena mungkin saja mobil Damkar itu menuju ke pusat kota. Namun tak saya lakukan, karena saya belum terbiasa.

Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan. Setelah saya berjalan jauh, akhirnya ada angkot berhenti. Tanpa berpikir panjang saya naik angkot itu. Karena sudah tak bisa menahan lagi rasa lelah dan pegalnya kaki ini. Ditambah lagi dengan menggendong tas berisi pakaian yang lumayan berat. Untungnya angkot itu membawa saya mendekati pusat kota. Kemudian perjalanan saya lanjutkan dengan naik becak menuju Stasiun Gubeng.

Tukang becak mengantar saya sampai depan stasiun Gubeng baru. Saya masuk dan duduk di depan toilet menunggu pagi datang. Saat pagi datang, saya langsung menuju loket untuk membeli tiket kereta Logawa menuju Purwokerto. Namun petugas loket bilang tiket sudah habis. Saya naik ojek menuju stasiun Pasar Turi. Security bilang loket belum buka. Tapi saya tak sabar menunggu. Saya menuju stasiun Semut dengan ojek. Namun lagi-lagi tak mendapatkan tiket. Saya kembali lagi ke Gubeng. Akhirnya saya mendapatkan tiket KA Pasundan. Saya harus turun di stasiun Kroya, Cilacap.

Sekitar jam 10 pagi KA Pasundan datang. Saya masuk gerbong dan duduk manis. Beberapa menit duduk, saya baru sadar ternyata saya merasa lapar karna belum sarapan. Saya buka dompet dan terkejut karena uang telah habis. Akhirnya sepanjang perjalanan Surabaya-Kroya saya harus menahan lapar. Dalam perjalanan saya menghubungi teman saya yang di Purwokerto untuk meminjam uang. Teman saya menyetujui dan saya merasa lega.

Namun tetap merasa lapar. Sampai di Kroya, saya masih harus naik bus menuju Purwokerto. Dan saya baru bertemu dengan teman saya di terminal Purwokerto. Tanpa banyak percakapan, teman saya langsung memberi saya uang yang akan saya pinjam. Dan akhirnya dari Purwokerto saya bisa langsung pulang ke Tegal.

Sekian cerita pertama kali saya mbonek.

*) Muhammad Faza Ainun Najib, Generasi Bonek Tegal

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display