Dalam paradigma sepak bola, suporter dikenal memiliki andil besar untuk turut serta memberi kontribusi bagi klub kebanggaan. Sebagaimana Antony Sutton (2017) menganalisis sejarah dan kultur sepak bola Indonesia, nama Bonek dan Persebaya adalah yang paling mendapatkan penekanan di beberapa diksinya.
Meski demikian, paradigma ‘suporter untuk klub’ mulai mengalami diaspora gerakan ke tidak hanya menyanyikan chant-chant di tribun, tetapi sudah meluas ke berbagai lokus kontribusi. Suporter khususnya Bonek mempunyai banyak cara untuk membesarkan nama Persebaya, sekaligus juga memperbaiki citra yang sering kali direduksi oleh Media Mainstream. Bonek konsisten untuk tetap berteriak lantang memberi semangat Persebaya di lapangan, sembari juga mengambil inisiatif untuk membumikan wajah suporter yang tidak terlepas dari persoalan sosial. Misalkan saja, jikalau kebanyakan masyarakat berasumsi ‘suporter mok onok ning lapangan’ oleh karenanya tidak memahami mekanisme pengaturan sepak bola, maka kami berkata “silahkan lihat perjuangan Bonek kala mengawal kembalinya Persebaya lewat jalur apapun, dari hukum sampai aksi massa”.
Semangat ‘suporter juga perlu terlibat di persoalan sosial’ itu kemudian terejawentahkan di beberapa aksi sosial, misal galang dana, di hampir tiap kali peristiwa. Sebut saja galang dana untuk korban longsor Banjarnegara, gempa bumi Pidi Aceh, dll. Hasil donasi yang dikumpulkan pun terbilang banyak, sekitar (setahu penulis) 19.270.000. Pertanyaannya, tahukah masyarakat terhadap fakta solidaritas Bonek demikian? Jawabannya tidak semua. Mengapa? Sebab media sebagai pilar demokrasi yang bertujuan sebagai medium pendidikan sekaligus komunikasi publik merasa lebih berguna jika memberitakan negatifnya Bonek dan Persebaya daripada ‘ikatan seduluran’ yang sudah diakui oleh peneliti manapun.
Oleh karenanya, kami dari Bonek Korwil Jogja terpanggil dengan adanya musibah yang melanda Ponorogo. Tanah yang menjadi berkah sebab subur dan makmur, ternyata bisa berubah gembur dan lebur karena tidak kuat strukturnya. Meski demikian tampaknya naif jika longsornya tanah itu dianggap hanya sekedar ‘bencana’. Bagi kami, itu adalah jalan nyata dari Sang Hyang Widhi, Allah Ta’ala, untuk kembali menapaki jalan pengingat tentang karunia alam.
Seperti penggalan lagu ‘Ibu Bumi wes maringi. Ibu Bumi dilarani. Ibu Bumi kang ngadili. La ilaha illallah (arti mudahnya: bumi telah memberi, namun bumi malah dieksploitasi. Ingat, bumi akan membalas tindakan manusia), telah mengingatkan betapa bumi pun tidak hanya berlaku sebagai pemuas saja melainkan sebagai modal untuk menghidupi manusia lintas masa.
Mendengar ratapan dari sedulur di Ponorogo membuat Bonek Jogja memandang perlu mengadakan penggalangan dana untuk kemudian disalurkan ke tempat penampungan sesuai dengan kebutuhan di sana. Kami sadar bahwa solidaritas orang Indonesia adalah mekanik yang tidak hanya membicarakan status ekonomi saja (organik)-sebagaimana Emile Durkheim bicara.
Akhirnya, atas nama kemanusiaan, Bonek Jogja mengulurkan tangan.
Catatan:
Penggalangan dana dilaksanakan selama tiga hari. Hari pertama bertempat di pertigaan ‘revolusi’ (UIN Sunan Kalijaga). Hari kedua dengan bantuan Viking Yogyakarta dan Persipura Mania Jogja mengadakan penggalangan dana di sekitar titik 0 Km. Sedang hari terakhir kembali bersama Viking Yogyakarta memfokuskan penggalangan di UIN Sunan Kalijaga. Syukur kepada Sang Hyang Widhi, dana terkumpul Rp 2.613.000,-.