EJ – Kompetisi Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 Indonesia 2017 telah selesai. Bahkan, PT Liga Indonesia Baru (LIB) sudah merencanakan Liga 1 2018 akan digelar pada 24 Februari 2018. Liga 2 pada 3 Maret 2018, dan Liga 3 pada 24 Maret 2018. Sayangnya, selesainya kompetisi tak diiringi dengan tuntas hak-hak yang harus diterima klub. Khususnya, peserta Liga 1.
Di awal musim PSSI bersama PT LIB memang sudah memutuskan tak ada hadiah untuk juara Liga 1. Tapi, peserta dijanjikan akan mendapatkan pemasukan maksimal Rp 17 miliar dari tiga sumber. Pertama, kontribusi komersial tiap klub sebesar Rp 7,5 miliar. Kedua, berdasarkan peringkat dan ketiga berdasarkan rating televisi. Kini, jangankan untuk sumber kedua dan ketiga, untuk kontribusi komersial Rp 7,5 miliar tiap klub saja belum tuntas. Data yang dihimpun #SOS #SaveOurSoccer rata-rata klub baru mendapatkan separuh dari dana kontribusi. Sisanya, belum jelas kapan akan dituntaskan!
Jumat, 22 Desember 2017, PT LIB mengundang seluruh peserta Liga 1 Indonesia untuk melakukan pembahasan tentang kontribusi klub musim 2017 di Markas Komando Strategi Angkatan Darat (Makostrad) Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Sejatinya, pertemuan ini dapat menghasilkan titik terang sehingga klub bisa langsung bisa fokus ke persiapan untuk musim 2018.
“Sejatinya bukan sekadar pertemuan. Harusnya LIB menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menyampaikan seluruh laporan bisnis yang dilakukan selama tahun 2017 kepada para pemegang saham. Di dalamnya termasuk laporan rugi laba dan juga kendala bisnis yang dialami bila ada,” kata Akmal Marhali, Koordinator #SaveOurSoccer. “Bahkan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Bab VI pasal 78 ayat (1) dan ayat (4), pemegang saham juga bisa mengajukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RSUPLB),” Akmal menambahkan.
RUPSLB berdasarkan UUPT dapat dilakukan kapan saja ketika kepentingan perseroan membutuhkannya. Misalkan apabila perseroan ingin mengubah direksi maupun komisaris, mengubah nama, tempat dan kedudukan, jangka waktu berdirinya perseroan dan hal lainnya yang membutuhkan persetujuan dari para pemegang saham. “Bila direksi dianggap tidak perform dan tak mampu menjalankan rencana kerja yang dibuat dalam prospectus bisnis alias dianggap gagal, RUPSLB bisa digunakan sebagai media melakukan pergantian personal,” kata Akmal.
RUPSLB menjadi sangat penting bagi keberlangsungan Liga 1 Indonesia 2018. Maklum, sampai sejauh ini PT LIB sebagai entity commercial belum membuka secara transparan kedudukan dan kepemilikan sahamnya. Klub-klub juga belum mengetahui secara pasti apakah mereka pemilik saham atau bukan. Bila merujuk kepada keputusan Hasil Kongres Bali 2010 yang selama ini dijadikan acuan, klub Liga 1 adalah pemilik saham mayoritas 99 persen. Sementara PSSI hanya memiliki 1 persen dalam bentuk golden share dan memiliki hak veto. Artinya setiap klub dari 18 peserta Liga 1 2017 masing-masing memiliki saham 5,5 persen!
“Klub harus berani mempertanyakannya. Jangan hanya ramai di luar, tapi diam saat pertemuan. Status 18 Klub sebagai pemilik saham mayoritas harus diperjelas karena ini juga akan berimplikasi ke Liga 2 dan Liga 3 sebagai strata kompetisi di bawahnya,” kata Akmal. “Bila klub bukan sebagai pemilik saham, maka mereka bisa menuntut kepada PT LIB semua kompensasi yang didapat dari kompetisi yang digelar. Terlepas LIB itu untung atau rugi. Tapi, bila klub sebagai pemilik saham mayoritas, mereka punya kewajiban ikut menanggung kerugian yang dialami,” Akmal menambahkan.
Jelang Kongres Tahunan PSSI di Bandung, 8 Januari 2017, #SOS sempat menyarankan kepada Sekjen PSSI, Ade Wellington, ketika itu, agar terkait League Governing Body dibahas tuntas. Utamanya terkait operator kompetisi dan kepemilikan saham. Bila sebelumnya klub mendapatkan saham cuma-cuma sebanyak 99 persen, Liga 1 harus berbeda dengan mewajibkan setiap klub ikut berinvestasi. Caranya, nilai kontribusi Rp 7,5 miliar hanya diberikan Rp 5 miliar. Sementara 2,5 miliarnya dalam bentuk saham. Klub yang terdegradasi akan dikembalikan sahamnya Rp 2,5 miliar digantikan dengan klub promosi yang harus berinvestasi dalam jumlah yang sama. Begitu seterusnya. Dari sini klub pastinya akan ikut ambil bagian menjaga nilai kompetisi agar menguntungkan karena mereka berinvestasi di dalamnya.
“SOS juga menyarankan pengelola kompetisi antara Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 berbeda agar terjadi persaingan yang sehat dan tidak memberatkan dalam hal keuangan di sisi operator. Ini akan mempercepat akselarasi percepatan pembangunan sepak bola nasional menuju kompetisi yang sehat, profesional, dan bermartabat sesuai amanat Presiden Joko Widodo terkait reformasi tata kelola sepak bola Indonesia,” kata Akmal. “Sepakbola kita bisa berubah lebih baik dengan cepat tergantung kemauan dan motivasi kita semua selaku pecinta sepakbola yang mengharapkan kompetisi yang lebih baik dan berprestasi,” Akmal menambahkan. (*)