Saatnya Hentikan Nyanyian “Dibunuh Saja!” dari Tribun Stadion

Stadion Gelora Bung Tomo. (Foto: Audee Photography)
Iklan

“Dibunuh saja!” menjadi kata yang sangat populer dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Para suporter atau fans sepakbola menyanyikannya, bahkan acapkali di sepanjang laga, ketika klub yang mereka dukung bertemu dengan klub yang mereka anggap sebagai rival. Bahkan kata-kata itu dinyanyikan meski klub yang sedang bermain di lapangan hijau bukanlah klub rival mereka.

Melalui layar televisi, kekerasan verbal dari tribun stadion ini disebarkan melalui frekuensi terestrial, menjangkau audiens yang menonton siaran langsung pertandingan sepakbola melalui layar televisi. Melalui media sosial, ujaran kebencian itu semakin menyebar dengan viral. Dalam beberapa tahun belakangan, seiring kesadaran dari stasiun televisi dan protes publik, lagu kebencian mulai berkurang volumenya. Di ruang produksi siaran langsung pertandingan sepakbola, proses gatekeeping dilakukan dengan mengecilkan atau bahkan mematikan volume suara lagu kebencian. Namun, di media sosial, gatekeeping semakin absurd, menyebabkan ujaran kebencian dan kekerasan semakin tersebar.

Implikasinya awalnya dianggap biasa saja. Anak-anak kecil menyanyikan lagu berlirik “dibunuh saja!” dengan riang gembira. Keriangan yang menempatkan lirik itu seolah tidak berimplikasi apa-apa. Terbunuhnya suporter sepak bola di berbagai lokasi sepertinya dianggap tidak berelasi dengan lirik lagu ini. Tahun 2018 saja, tercatat setidaknya ada 5 suporter yang meninggal, yaitu Micko Pratama (Bonek) akibat terkena lemparan batu setelah menyaksikan Persebaya di Solo sepulang menyaksikan Persebaya vs PS TIRA, Dhimas Duha Romli (Aremania) yang meninggal akibat kerusuhan pasca pertandingan Arema vs Persib di Stadion Kanjuruhan, William Wijaya (Persitara) setelah dikeroyok warga, Muhammad Iqbal yang menjadi korban bentrokan yang melibatkan suporter PSS Sleman vs PSIM Yogyakarta di luar Stadion Sultan Agung Bantul, dan yang terakhir Haringga Sarila (Jakmania), yang meninggal setelah dianiaya suporter di kawasan Stadion Gelora Bandung Lautan Api.

Meninggalnya Haringga Sirila mendapatkan perhatian publik dan para pemangku kepentingan sepak bola di Indonesia. Kompetisi sepakbola dihentikan sebagai imbas dari kekerasan yang terjadi. Tentu saja, pembunuhan yang terjadi sebelumnya juga tidak bisa dilupakan. Semuanya dalam kerangka konteks yang sama, kekerasan di ranah sepak bola.

Iklan

Ada yang salah ketika memaknai lagu “dibunuh saja!” sebagai sesuatu yang biasa dan kenormalan. Merujuk pada Hannah Arrent, pada lagu “dibunuh saja!” ada banalitas kejahatan (banality of evil). Dalam bukunya yang berjudul On Violence (1970), Hannah Arrent menyebutkan bahwa di abad 20, kekerasan sering ditemukan sebagai fenomena yang banal, tidak lagi dianggap asing dan sebagai sesuatu hal yang lumrah dialami manusia.

Kata “banal” bisa dimaknai sebagai sesuatu yang biasa, wajar dan dangkal. Ini berarti bahwa banalitas kejahatan, sebagaimana yang dissampaikan oleh Hannah Arrent merupakan kejahatan yang terjadi dalam skala besar, bahkan raksasa, yang tidak bisa diurai akarnya dari kegilaan, patologi maupun kepercayaan terhadap ideologi tertentu dari pelaku. Para pelaku kejahatan yang menyebabkan jatuhnya nyawa dalam sepak bola Indonesia, terutama para suporter sepak bola yang melakukan kekerasan, tidak punya riwayat kegilaan, patologi atau keyakinan ideologis yang melatarbelakangi mereka melakukan kejahatan. Mereka melakukan kejahatan yang mereka anggap biasa, karena mereka adalah para pelaku yang berfikir secara banal.

Kebanalan termanifestasikan dalam nyanyian dengan lirik yang agresif, bahkan pada pendulum yang paling agresif. Rangkaian kata “dibunuh saja!” jelas berada pada pendulum paling ujung akhir dari agresifitas karena berisi ajakan untuk meniadakan nyawa orang. Ajakan menihilkan nyawa dalam kata-kata “dibunuh saja!” yang dinyanyikan secara terus-menerus membuat bandul pendulum kematian pun terus bergerak.

Meskipun sebenarnya telah terlambat, pendulum banalitas kejahatan di tribun stadion harus dihentikan. Nyanyian agresif “dibunuh saja!” sudah saatnya ditiadakan dari tribun stadion. Menyanyikan lagu “dibunuh saja!” sama artinya membawa aroma kematian ke stadion. Jika “dibunuh saja!” masih dinyanyikan, pertandingan sepak bola akan dipayungi awan kelam upacara kematian.

*) Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, penulis buku Merayakan Sepakbola.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display