Belajar Pluralisme Melalui Sepak Bola

Pemain Persebaya dan Arema bercengkrama saat pemanasan. Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Sepak bola adalah olahraga yang dimainkan oleh dua klub dengan masing-masing sebelas pemain di dalamnya yang bertujuan untuk mencetak gol ke dalam gawang. Seluruh dunia pasti sudah sangat mengenal olahraga ini mulai dari pelosok kampung sampai ke perkotaan. Sepak bola menciptakan siapa yang akan menang dan siapa yang kalah. Setiap kemenangan dan kekalahan tentu memiliki makna tersendiri bagi klub tersebut. Hal ini sesuai ucapan Sindhunata dalam buku Politik & Sepak Bola (2004:xix), “Kekalahan itu sungguh menyakitkan. Namun bagi Belanda, kekalahan itu justru menjadi saat yang menandai lahirnya sepak bola khas mereka, yakni sepak bola indah”. Hal ini merujuk saat Belanda mengalami kekalahan atas Jerman di Piala Dunia tahun 1974, di Munchen. Terjadinya peristiwa tersebut bukan menjadi hal yang memalukan bagi penduduk Belanda akan tetapi menjadi suatu kenangan yang indah karena merupakan sebuah titik balik bagi perkembangan sepak bola Belanda.

Sepak bola juga menjadi alat atau simbol perlawanan terhadap penindasan yang terjadi. Seperti di Indonesia ketika masih dalam kekuasaan Belanda, kaum bumiputra menggunakan sepak bola sebagai perlawanan terhadap kekuasaan Belanda termasuk di bidang sepak bola. Seperti kutipan Srie Agustina dalam Politik & Sepak Bola (2004:39), “perasaan tidak suka atas dominasi Belanda dalam olahraga sepak bola muncul sejak tahun 1908, bersamaan dengan lahirnya organisasi pergerakan nasional. Boedi Oetomo yang dianggap sebagai manifestasi lahirnya jiwa nasionalisme juga telah membentuk badan olah raga dimana sepak bola sebagai salah satu cabangnya”.

Sisi yang unik juga terdapat dalam sepak bola. Terlihat dari susunan pemain di sebuah tim. Pemain di sebuah tim tentu berasal dari latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda. Seperti kutipan dari Muhaimin dalam Spiritualitas Sepak Bola (2006:13), “setiap tim sepak bola, baik klub maupun yang mewakili suatu negara (tim nasiona) selalu mencerminkan keragaman asal-usul pemain-agama, etnis atau yang lain-tetapi berada dalam satu ikatan batin dan cita-cita kolektif yang solid”. Hal ini menarik karena sepak bola bisa menyatukan berbagai macam pemain yang memiliki latar belakang berbeda dan tetap di dalam satu jalur ikatan tim sepak bola. Melalui sepak bola bisa dijadikan contoh untuk bisa hidup sesama tanpa membeda-bedakan latar belakang dari orang tersebut. Sepak bola juga sangat memanfaatkan adanya perbedaan ini karena dengan perbedaan tersebut kekuatan dari tim bisa menjadi bertambah.

Secara tidak sadar di saat kita bermain sepak bola di saat itu juga kita bisa memahami bagaimana pentingnya pluralisme. Pluralisme jika dirunut dari Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebuah keadaan masyarakat yang majemuk berkaitan dengan sosial politik (kbbi.web.id). Arti masyarakat yang majemuk bisa dilihat dari para pemain dalam sebuah klub sepak bola. Pemain ini berasal dari latar belakang yang berbeda. Mulai berbeda dari suku, agama, dan ras. Sepak bola menjadikan perbedaan ini sebagai sumber kekuatan karena perbedaan ini apabila dikelola dengan baik bisa menjadi kekuatan yang sangat dahsyat bagi tim tersebut.

Iklan

Bukti adanya perbedaan ini bisa kita lihat kutipan Muhaimin dalam Spiritualitas Sepak Bola (2006:14), “ketika menjadi juara piala dunia 1998, satu-satunya prestasi tertinggi yang pernah diraih Perancis, timnas negara ini ditulangpunggungi oleh para pemain yang berdarah multi-bangsa. Ada Zinedine Zidane yang berayah seorang Aljazair, Christian Karembeu dilahirkan di Kaledonia Baru, striker Youri Djorkaeff punya darah Maroko, penjaga gawang Bernard Lama lahir di Guadaloupe, David Trezeguet pernah menjadi pemain cadangan timnas U-18 Argentina, dan bek sayap Bixente Lizarazu berdarah Spanyol”. Hal tersebut menjadi bukti bahwa perbedaan yang ada di setiap pemain timnas Prancis ketika menjadi juara piala dunia 1998 bukan menjadi sebuah penghalang akan tetapi perbedaan ini bisa digunakan sebagai kekuatan yang saling melengkapi satu sama lain sehingga tercipta kekuatan yang cukup dahsyat.

Sepak bola juga menegaskan bahwa permainan bisa tercipta dengan baik apabila terdapat suatu talenta dan tentu improvisasi dari setiap pemainnya. Setiap posisi pemain yang ada di tim sudah sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tercipta suatu kesadaran posisi yang ia tempati. Seperti kutipan dari Muhaimin dalam Spiritualitas Sepak Bola (2006:15-16), “penjaga gawang tempatnya di belakang, menjadi benteng terakhir pertahanan. Kalau penjaga gawang selalu keluar dari garis gawang dan ikut menyerang sepanjang permainan, maka kacaulah pertahanan dan juga penyerangan. Jika seorang pengatur serangan memberi umpan bola ke depan, maka tanpa diperintah pemain di garis depan harus bisa mencari celah dengan cerdik untuk menerima dan meneruskan bola itu”.

Penjelasan ini memberikan arti kepada kita bahwa sepak bola tidak hanya sekedar permainan akan tetapi memiliki berbagai fungsi sesuai sudut pandang kita bagaimana melihat sepak bola tersebut. Hubungan pluralisme dengan sepak bola juga tidak dapat dipisahkan karena sudah menjadi satu kesatuan. Seluruh pemain yang berbeda latar belakang bisa bersatu tanpa adanya batasan dan sesuai dengan ikatan yang ada di dalam tim sepak bola tersebut. Hal ini juga mengajarkan kepada kita bahwa pluralisme ini bisa dibilang sebagai “ruh” dari sepak bola. Bukan suatu hal yang berlebihan apabila pluralisme ini tidak bisa terjaga dengan baik maka tentu tim sepak bola tersebut tidak hidup dan mengalami kehancuran.

Referensi:

Iskandar, Muhaimin.
(2006). Spiritualitas Sepak Bola. Jogjakarta: KLIK.R

Palupi, Srie Agustina.
(2004). Politik & Sepak Bola. Jogjakarta: Ombak

Setiawan, Ebta (2012) KBBI Online: Pluralisme. (Diakses 14 April 2019).
https://kbbi.web.id/pluralisme.html

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display