Manifestasi Cinta Persebaya, Sebuah Warisan Dari Bapak

Persebaya berlatih di Gelora 10 Nopember Tambaksari (27/4)/Foto:Official Persebaya
Iklan

Sore itu suara radio terdengar nyaring dari sebuah rumah di seberang jalan kecil sebuah kampung. Sayup-sayup terdengar suara pemandu radio menyebutkan nama dari beberapa orang, ketika saya tamati lebih lagi ternyata itu nama-nama pemain Persebaya. Sayangnya saya sudah lupa waktu itu Persebaya sedang bertanding melawan tim mana, yang jelas suara radio Bapak terdengar sangat nyaring menyiarkan pertandingan. Itulah peristiwa awal ketika saya mulai mengenal cinta kepada Persebaya.

Secara tidak langsung saya dikenalkan Bapak dengan Persebaya melalui siaran radio dan televisi, waktu itu memang pertandingan Persebaya masih disiarkan melalui dua media tersebut. Tentunya radio yang menyiarkan pertandingan waktu itu tak lain dan tak bukan adalah Radio Gelora Sepuluh Nopember, dengan sponsor ikoniknya Kroto Kristal Hartono dan AIM Biskuit. Bapak memang tidak pernah mengajak saya untuk datang langsung menonton pertandingan Persebaya secara langsung di stadion Gelora 10 Nopember, meskipun jarak rumah kami hanya sekitar 15 menit berjalan kaki menuju stadion.

Saya sadar kondisi ekonomi keluarga kami yang waktu itu masih pas-pasan menjadi satu alasan kenapa Bapak lebih mementingkan menyisihkan uang untuk makan dari pada menonton bola. Tapi kondisi tersebut tidak menyurutkan niat Bapak untuk mengenalkan saya kepada sepak bola. Ketika ada pertandingan sore atau malam, Bapak pasti menyempatkan waktu untuk menonton atau mendengarkan setiap pertandingan Persebaya dengan mengajak saya. Tentunya dengan reaksi khas suporter bola lain yang kadang geregetan jika ada peluang terbuang percuma, tak jarang kadang juga kecewa sewaktu Persebaya kalah. Tapi Bapak tidak pernah sekalipun mengumpat atau marah berlebihan, karena Bapak paham ini semua hanyalah sebuah pertandingan, maka dari itu tim yang bermain bisa saja kalah atau menang.

Saya juga masih ingat ketika dulu teman-teman sepermainan saya, yang rata-rata laki-laki, kompak membeli baju Bonek atau jersey Persebaya untuk dipakai bermain. Agar tidak ketinggalan dengan teman-teman bermain akhirnya saya minta ke Ibu untuk dibelikan baju Bonek atau jersey Persebaya yang sama dengan teman-teman. Tak berselang lama nampaknya Ibu menyampaikan permintaan saya itu ke Bapak. Lalu sore harinya Bapak memanggil saya, Bapak bilang akan membelikan saya baju yang saya mau tapi dengan syarat saya harus “nyelengi” atau menabung dahulu.

Iklan
BACA:  Andik Vermansah dan Persebaya Panggilan Jiwa

Saking pinginnya punya baju Bonek atau jersey Persebaya akhirnya saya rela menyisihkan uang jajan untuk ditabung dan kurang dari seminggu kemudian terkumpullah sejumlah uang. Setelah uang terkumpul dan ditambahi beberapa ribu rupiah oleh Bapak berangkatlah saya dan Bapak menuju penjual baju di depan Gelora 10 Nopember, senangnya saya satu baju berhasil terbeli. Momen lain yang saya ingat adalah ketika sekitar tahun 2009, sewaktu masih SMP saya membeli tiket pertandingan Persebaya melawan Sriwijaya FC dari uang jajan yang saya tabung. Akirnya kebiasaan menabung untuk membeli beragam pernak-pernik atau tiket pertandingan Persebaya masih saya lakukan hingga sekarang.

Satu hal yang sampai saat ini akan saya pegang teguh adalah ajaran Bapak tentang menjadi suporter seutuhnya. Bapak paham, mengenalkan sepak bola Indonesia ke anak lanangnya juga pasti turut mengenalkan konflik dan rivalitas suporter sepak bola yang sangat mengakar. Di awal tahun 2000’an konflik Bonek dengan beberapa kelompok suporter begitu sering disajikan oleh media. Aremania, The Jak, LA Mania, Pasoepati, dan beberapa suporter lain dikenal merupakan musuh bebuyutan dari Bonek di era awal tahun 2000’an. Bapak yang merupakan seorang pendatang dari Lamongan tentunya juga memiliki kecintaan terhadap Persela, yang tentunya rasa cintanya terhadap Persela kadang juga dihadapkan pada realitas konflik yang terjadi antara Bonek dengan LA Mania waktu itu.

Selain mengajak saya menyaksikan pertandingan Persebaya, Bapak juga sering mengajak menonton pertandingan Persela di televisi. Bahkan Bapak juga pernah membelikan saya atribut LA Mania sewaktu mudik ke kampung halaman. Secara perlahan ternyata apa yang dilakukan Bapak itu salah satu pembelajaran bagi saya untuk tetap mendukung klub bola tanah kelahiran saya dan meredam agar saya tidak terbawa konflik antar kedua suporter yang mengakar.

BACA:  Scream For Pride, Band Khusus Lagu-Lagu Persebaya dan Bonek

Seiring berjalannya waktu kemudian Bonek berhasil mewujudkan hubungan baik dengan banyak rivalnya tersebut, salah satunya LA Mania, tentunya juga melalui rekonsiliasi yang panjang. Mendukung Persebaya sebagai Bonek bukan berarti harus membenci klub atau suporter lain, apalagi harus membenci klub tanah kelahiran itu yang diajarkan Bapak. Pembelajaran itu yang kemudian terus terbawa sampai sekarang dan menjadikan saya (tanpa malu untuk mengakui) sebagai salah satu suporter sepak bola yang memiliki dua cinta, Persebaya sebagai cinta pertama dan Persela sebagai cinta ke dua.

Melalui hal-hal kecil di atas Bapak mengajarkan bagaimana tetap mendukung Persebaya meskipun dalam kondisi penuh keterbatasan. Melalui pembelajaran sederhana itu pula Bapak mengajarkan bagaimana cara mendukung Persebaya dengan penuh tanggung jawab dan kemandirian.

Tak lupa Bapak mengajarkan bagaimana tetap mendukung dan cinta Persebaya tanpa harus menaruh kebencian terhadap klub atau kelompok suporter sepak bola yang lain. Bapak dengan segala kewibawaannya berhasil membentuk saya menjadi suporter yang sadar, suporter yang mempunyai nalar sehat, dan cara yang tepat untuk mendukung Persebaya. 3 poin utama ajaran dari Bapak itu yang nampaknya secara tidak sadar saya warisi sebagai sebuah bentuk manifestasi rasa cinta kepada Persebaya. Di kemudian hari ajaran ini lah yang menjadi tanggung jawab saya untuk kemudian saya wariskan ke anak lanang saya.

 

Terima kasih Bapak

 

Penulis:

Muhammad Miftahul Muslim, S.Hum

Dihubungi di twitter : @bocahkacang_

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display