Meski kompetisi 1977 molor hingga awal tahun 1978, tapi judul kompetisinya tetap 1975-1977 dan Stadion Gelora 10 November kebagian sebagai penyelenggara grup A yang dihuni oleh PSMS Medan, Persipura Jayapura, Perseden Denpasar dan PSIT Cirebon.
Masyarakat bola pun sudah bisa menebak, tim mana yang bakal lolos dari grup A, yakni: PSMS dan Persipura. Secara tradisi, keduanya terlalu tangguh bagi Perseden dan PSIT.
Seingatku, dari 6 laga, aku hanya nonton laga Persipura vs PSMS. Aku lupa, apakah nonton PSIT-Perseden atau tidak.
Seperti mengulangi masa kanak-kanak dulu, aku diajak nonton oleh mbah (kakek) ku. Kami duduk di kelas ekonomi utara. Tetapi laga PSMS-Persipura itu harus berakhir dengan caci-maki penonton. Mereka beranggapan Persipura dan PSMS tidak serius bermain, hanya mengharap hasil seri, padahal yang penonton ingin adalah permainan seru, kalau perlu ada kerasnya.
“Sabuuun…! sabuuun…!!!” teriak penonton, termasuk embahku yang orangnya berangasan.
Suwarno, Parlin Siagian, Timo Kapissa, dan lain-lainnya seperti tidak mau mencetak gol, terlihat nyata kalau mereka sengaja membuang peluang. Tapi, aku pribadi agak terhibur penampilan kiper Taufik Lubis yang beberapa kali memperagakan teknik bagaimana menjadi kiper yang handal. Terbang menangkap bola dengan lengket atau menebak dengan tepat arah tendangan bebas, menangkapnya tanpa bergeser posisi sedikitpun.
Dari grup A ini, ada pemain terbaik di luar Persipura dan PSMS, yakni seorang gelandang kuat bertenaga kuda berambut gondrong dari Perseden Denpasar, namanya Anak Agung Rae Bawa. Kelak dia akan berseragam tim-tim raksasa dan top dari kota Surabaya.
Akhirnya, sesuai prediksi: Persipura dan PSMS melaju ke babak 8 besar di Jakarta.
Babak 8 besar PSSI terbagi menjadi pool E diisi oleh PSMS, PSM, Persiraja dan PSBI sedang pool F dihuni Persija, Persipura, Persib dan Persebaya. Nama pool E dan F dipakai untuk melanjutkan nama Pool babak 18 besar yang sebelumnya yang memakai abjad A, B, C dan D. Ada juga sumber yang menulis nama pool di 8 besar adalah F dan G.
Ada cerita prihatin menyertai Persebaya berangkat ke babak 8 besar, pertama adanya jersey (kostum seragam) yang robek dan harus dijahit, kedua kekurangan dana, sehingga ke Jakarta harus naik KA. Tapi untunglah kemudian ada dermawan yang menyumbang sehingga bisa ke Jakarta naik pesawat. Saat itu harga tiket pesawat jauh lebih mahal ketimbang tiket KA kelas eksekutif seperti KA Bima.
Semua cerita-cerita itu aku baca setelah kompetisi berakhir.
Aku dengar prediksi banyak orang bahwa Persebaya bakal sulit juara musim ini karena lawan-lawannya tangguh, terutama Persija. Mereka juara bertahan bersama PSMS dan dihuni sebagian besar pemain nasional. Boleh dikata, Persija adalah miniatur tim nasional.
PSMS Medan, mereka juara 1967, 1969, 1971. Kecuali Persis Solo, tidak ada tim yang mampu juara 3 kali beruntun seperti PSMS. Lalu, Persipura, adalah juara Suharto Cup 1976 yang kuat secara fisik dan skill.
Bagaimana dengan PSM? Mereka sudah jadi momok sejak 2 kali memenangi turnamen di Surabaya. Diantaranya mengalahkan Persebaya dan PSSI SEA Games 1977.
Terakhir Persib, meski sudah lama tidak menjadi juara, tetapi di babak 18 besar, mereka tidak terkalahkan. Bahkan tidak pernah kebobolan, salah satunya dengan menyikat PSM 3-0, tim yang sulit dikalahkan oleh Persebaya dan PSSI.
Semua teman-temanku (Bonek Lawas) pecinta Persebaya, berharap-harap cemas akan situasi ini.
Dari 7 tim pesaing, praktis tinggal Persiraja dan PSBI Blitar saja yang tidak dianggap sebagai batu sandungan. Apalagi kedua tim ringan itu tidak satu grup dengan Persebaya, dengan kata lain Persebaya saat itu berada di grup “Neraka.”
Bergerombol kami ba’da Isya’ mendengarkan RRI Jakarta menyiarkan laporan pandangan mata Persija-Pesebaya dengan pesawat radio yang saat ini tentu sudah jadi barang antik. Kami menyimak, Persija begitu menguasai permainan dan mengecilkan hati kami saat Anjas Asmara mencetak gol, 1-0 sampai usai babak pertama.
Ada kejadian menyesakkan, Andilala memukul kapten Persebaya, Rusdy Bahalwan sampai tergeletak. Tapi aturan PSSI jaman itu belum seketat sekarang, jadi Andilala tidak dihukum. Kata orang, Andilala membalas perlakuan publik Surabaya saat Final Surya Cup 1977, dimana dia diketapel penonton sampai tergeletak.
Babak kedua giliran Persebaya menyerang total, dan akhirnya, di ujung laga gol Abdul Kadir menyelamatkan Persebaya, membuat aku dan teman-teman berteriak-teriak gembira di malam hari. Skor berubah 1-1. Modal yang cukup bagus.
Entah mengapa di pertandingan kedua melawan Persib aku tidak mendengarkan radio, tapi esok paginya hati ini berbunga-bunga membaca Jawa Pos memberitakan Hadi Ismanto dan Johny Fahamsyah menjadi pencetak gol kemenangan Persebaya 2-0 atas Persib. Harapan melihat Persebaya bakal juara menjadi cerah, apalagi membaca berita lain bahwa Persipura dihajar 1-5 oleh Persija, artinya Persipura kali ini tidak begitu kuat.
Perkiraan itu memang benar adanya, karena di laga berikutnya, reporter RRI Jakarta membuat rakyat Surabaya gembira ria mendengar Hadi Ismanto, Johny Fahamsyah, Waskito dan Joko Malis bergantian menjebol jala Persipura. Persib tersingkir setelah dihajar 3 gol tanpa balas oleh Persija.
Persebaya melaju ke semi final sebagai runner-up, hanya selisih 1 gol dari Persija yang jadi juara grup.
Aku berharap di semi final, Persebaya tidak ketemu PSM yang selama ini sulit ditaklukkan. Tapi doaku tidak terkabul, PSM menjuarai grup E meski nilainya sama dengan PSMS dan Persiraja, yakni (4) hal ini berkat kemenangan besar atas PSBI Blitar 8-1.
Wah, akankah PSM mengalahkan Persebaya lagi, aku sangat khawatir.
Entah kemana teman-temanku waktu malam semifinal tiba, mereka membiarkan aku menggigil sendirian mendengarkan RRI menyiarkan laga Persebaya-PSM. Bukan menggigil kedinginan, tetapi demam dan takut kalau-kalau Persebaya kalah lagi. Begitu tombol ON di radio aku putar, laga sudah berlangsung 10 menit yang lalu, ternyata skor sudah 1-0 untuk Persebaya yang dicetak Hadi Ismanto menit ke-4, …Yesss! … kali ini Persebaya sementara menang.
Hatiku berbunga-bunga sekaligus resah karena mendengar reporter RRI melaporkan bahwa bola selalu dikuasai pemain-pemain PSM. Bahasa jaman NOW, Persebaya kalah Ball Possession dan kudu mempraktekkan strategi Parkir Bemo.
Entah berapa belas kali reporter RRI berteriak menggiriskan hati.. “Abdi Tunggal lolos! … berbahayaaa…!!!”
Lain waktu dia berteriak, “Anwar Ramang menembaak!!” … atau … “Dullah Rachim menyusur dari kiri, cepat sekali, umpan ke mulut gawaaangg!!! …. tetapi Suharsoyo berhasil memetik bola di udara mengamankan gawangnya.” Selama itu pula badanku panas-dingin, sebab PSM benar-benar mengurung.
Dada ini bernafas lega ketika dilaporkan wasit sudah meniup peluit panjang. Persebaya menang dan maju ke FINAL. Alhamdulillahhh.
Siapa lawan di final?
Esoknya, aku melihat siaran tunda di TVRI yang menayangkan pertandingan semifinal Persija-PSMS yang tadi malam giliran main jam kedua setelah Persebaya vs PSM. Meski PSMS lebih dulu unggul 1-0 akhirnya bisa disamakan 1-1, bahkan PSMS dikalahkan Persija via adu penalti dengan skor 3-1, di mana Ronny Pasla tampil sebagai pahlawan dengan menggagalkan 3 di antara 4 eksekusi algojo PSMS. Aku benar-benar ikut bangga melihat kepiawaian Ronny Pasla.
Sungguh tidak ada kiper setangguh Ronny Pasla di Indonesia yang cekatan juga jago adu penalti. Sebelum ini, Ronny Pasla menggagalkan 2 algojo Korea Utara dalam final Pre Olympic 1976 yaitu Park Jong Hun dan Kim Jong Min, lalu di SEA Games 1977 dia menggagalkan eksekusi Santokh Singh, bahkan tercatat pernah menggagalkan eksekusi salah satu pemain terbaik abad ini yaitu PELE.
Tetapi masalahnya, lawan Ronny Pasla berikutnya adalah Persebaya…
Aku senang akan semua prestasi Ronny Pasla dan berharap dia terus berprestasi hebat. Tetapi bagaimana bila yang akan digagalkan adalah eksekusi dari Persebaya? Kali ini, mungkin aku harus merelakan bila Ronny Pasla kalah. Dia kuharap menang terus bila yang dijaga adalah gawang tim nasional kita, PSSI.
Aku dan teman-teman semua, baik teman di kampung maupun di sekolah ramai berbincang dan berharap agar di final nanti tidak diakhiri dengan adu tendangan penalti.
Semoga!
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.