Kekalahan telak dari Persija dan PSMS di Piala Fatahillah membuat para pendukung pesimis Persebaya bisa mempertahankan gelar. Apalagi di laga pertama Persebaya berhadapan dengan PSM yang terkenal ngotot. Kembali, radio menjadi alat monitoring langsung, karena live streaming di internet belum ada. Bahkan zaman Old hal yang demikian tidak terbayangkan sama sekali. Masih dalam taraf (dianggap) khayalan.
Beberapa pemain baru masuk ke skuad Persebaya yaitu Sunardi Rusdiana, Budi Riva keduanya dari Jakarta. Lalu ada Santoso Pribadi serta muka baru tetapi stok lama, yaitu Budi Santoso dari Malang.
Kali ini yang mendengarkan RRI Jakarta sangat ramai, bapak-bapak dan kakak-kakak semua cangkruk di Gang 2 (Belakang Sentral Telkom Jl Kampung Seng). Semua ikut nimbrung, termasuk tetangga Tionghwa, koh King Tek, King Hok, Swie, baik yang seneng bola maupun yang gak seneng ngumpul mengelilingi Radio. Ada yang mentraktir kacang godhog.
“Shooting Hadi Ismantoo!… Gooolllll…!!!”
“Budi Riva menembak!… Masuk!”
Setiap kali Persebaya dilaporkan mencetak gol, semua anak-anak dan remaja berdiri berjingkrak-jingkrak, yang seneng bola bergaya, berlari berputar… berselebrasi meniru pemain dunia, sambil berteriak “Gooollll…” betapa indah dikenang.
Sungguh di luar dugaan, laporan pandangan mata RRI Jakarta membuat para remaja kami tercengang, Persebaya menghajar PSM dengan skor 4-1, senang bercampur heran, sungguh kami tidak menduga PSM serapuh itu, nada-nada yang semula pesimistis mendadak penuh optimis.
Begitu laga usai, cangkrukan bola pun langsung digelar di perempatan. Kami bicara ngalor-ngidul tentang sepak bola dan Persebaya. Sampai malam tidak terasa capek, tidak bisa ngantuk, dan tidak merasa bosan, apalagi dengan berbagai camilan tersaji. Pesta dadakan.
Ada seseorang berbadan gemuk berseloroh “Dikandani kok gak percoyo, Persebaya nek cuman uji coba pancen sering melempem… tapi nek wis ndik kompetisi asli, ojok ngremehno!”
Pertandingan kedua ketemu lawan sepadan, PSMS Medan yang di hari pertama bisa merepotkan Persija dengan skor 2-2.
PSMS langsung unggul 1-0 di babak pertama, lalu terdengar seperti amat sulit bagi Persebaya menyamakan skor, semua serangan menemui jalan buntu. Kali ini aku menyetel RRI Jakarta dirumahku, gang IV, bersama teman-teman yang seneng bola saja.
Semua teman yang mengelilingi radio lama terdiam dalam ketegangan dan baru pecah menjadi sorak gembira ketika Rudy Keeltjes membuat skor 1-1. Tetapi semua kembali lemas tatkala laga hampir berakhir, tiba-tiba gawang Persebaya dibobol oleh Suwarno. Aku masih ingat kalimat reporter RRI Jakarta saat itu…
“ Yah, apa yang terjadi saudara-saudara?… Gooll… yah gol untuk PSMS. Mudah sekali bagi penyerang PSMS, Suwarno memasukkan bola ke gawang Persebaya yang kosong melompong, tinggal menggulirkan saja… dst…” suasana muram menggelayut. “Waduh, kalah…”
Dasar masih dinaungi dewi Fortuna, beberapa detik menjelang bubar tendangan melambung untung-untungan dari Budi Riva yang sebenarnya bisa diamankan kiper PSMS, Elwin, ternyata meleset bolanya malah masuk ke gawang. Suryanto berguling-guling saking gembiranya, tangannya mengepal seperti kejang-kejang… Gooll!!!… skor berubah jadi 2-2 di menit akhir, Persebaya selamat. Benar-benar kesalahan kiper Elwin, kata reporter RRI.
Setelah laga seru itu, Persebaya tampil amat perkasa dengan menghajar Persiraja 3-0 lalu di laga akhir, Persebaya mengacak-acak Persija 2-0 melalui gol Hadi Ismanto dan Joko Malis, untuk langsung menduduki singgasana klasemen putaran 1 tanpa tersentuh kekalahan. Kiper Sudarno pun dibuat merana (di putaran ke 2 diganti Endang Tirtana).
Kami sering merinding bangga kala reporter RRI Jakarta melaporkan…”Sunardi Rusdiana, kini mendapat bola, menusuk sisi kiri gawang… cepat sekali larinya…” sensasi yang kami rasakan dengan hanya mendengar sungguh luar biasa.
Siapakah Sunardi? Kami sama sekali belum pernah melihat, juga Budi Riva, dan Santoso Pribadi.
Persebaya 4 – 3 – 1 – 0 11-3 7 *) Juara Paruh Musim
PSMS 4 – 2 – 2 – 0 11-8 6
Persija 4 – 2 – 1 – 1 8-4 3
Persiraja 4 – 0 – 1 – 3 2-8 1
PSM 4 – 0 – 1 – 3 5-14 1
Kesuksesan Persebaya menjadi juara putaran 1 Divisi Utama 1978-1979 menyebabkan Stadion Gelora 10 November dipenuhi lautan manusia ketika Persebaya menjamu klub Shahbaz dari Iran. Daya tariknya jelas, Persebaya sang juara dan Shahbaz diberitakan diperkuat 2 pemain Nasional Iran yang turun dari kancah Piala Dunia 1978 Argentina beberapa bulan lalu. Salah satunya adalah kiper gagah tampan bernama Nasser Hejzasi.
Mulanya aku dan Basuki duduk di bawah Scoring Board, melihat dengan jelas bagaimana umpan jauh bek Persebaya kepada kiri luar Abdul Kadir menjadi bahan tertawaan penonton. Umpannya sih bagus dan terukur, tetapi meminta Abdul Kadir yang bertubuh pendek berduel udara melawan Nasser Hejzasi yang jangkung sungguh perbuatan ngawur.
“Sopo iku sing ngumpani? wis weruh kancane bujel dikongkon ngelawan cagak listrik.”
Secara teknik, Persebaya satu level di bawah Shahbaz, tetapi sebenarnya pertandingan itu agak berimbang, walau dari sekian banyak peluang yang dimiliki kedua pihak, Shahbaz bisa mencetak 2 gol sedangkan Persebaya tidak bisa, alias nol.
Hari itu Persebaya yang didukung penuh oleh penonton, turun mengenakan seragam baru, kaus Kuning celana Hijau, beberapa kali mendapat kesempatan mencetak gol, tapi Budi Santoso dan Hadi Ismanto sering ragu-ragu mengejar bola. Akhir babak 2 aku dan Basuki turun dari scoring board, pindah ke belakang Nasser Hejzasi di gawang selatan, agar bisa ikut menikmati kalau-kalau Persebaya bikin gol.
Dukungan penonton tidak surut manakala Persebaya malah tertinggal 0-3, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Persebaya akhirnya mampu juga menjebol gawang Nasser Hejzasi yang dicetak oleh Budi Santoso. Gemuruh stadion bergitu keras membahana seolah Persebaya lah yang mengalahkan Shahbaz. Kalah, tetapi terlihat penonton puas.
Baru sore itulah aku dan Basuki melihat dan mengenali pemain baru Persebaya yang bernama Sunardi Rusdiana, Santoso Pribadi dan Budi Riva.
Persebaya juga pernah dikunjungi kesebelasan Johor (atau Selangor?) dari Malaysia, tapi aku lupa kapan itu terjadi, sebelum Juara 1977 atau setelahnya. Tapi sayangnya, Persebaya dikalahkan Johor 0-1 melalui gol Irfan Bakti Abu Salim (yang kelak di tahun 2007 menjadi pelatih Persipura).
Tahun 1978 ini juga PSSI sudah mulai bersiap menggelar suatu kompetisi (semi) profesional yang disebut dengan GALATAMA (Liga Sepakbola Utama) yang akan digulirkan mulai tahun 1979 nanti dan klub-klub di dalamnya boleh memakai jasa pemain “Asing” seperti liga-liga profesional di Eropa atau di Amerika Latin.
Dengar-dengar kabar, calon peserta Galatama sudah ada beberapa klub, sebagian besar dari ibu kota, yaitu Warna Agung, Indonesia Muda, Arseto, Jayakarta dan klub dari Medan yang dulu sempat terkenal, Pardedetex. Sedang dari Surabaya khabarnya juga akan ada klub yang ikut berpartisipasi, namanya NIAC Mitra. Kalau Mitra aku sudah tahu itu klub anggota Persebaya, tetapi apa itu NIAC?
Akhirnya aku tahu NIAC Mitra kala ada uji coba di stadion Gelora 10 November melawan calon Galatama Warna Agung yang diperkuat oleh Rony Pattinasarany, nama-nama lain squad Warna Agung masih asing di telingaku, tetapi nama-nama di skuad NIAC Mitra, cukup dikenal, seperti Samun Reza, Hendriks Montolalu yang dulu kiper Persipal Palu dan juga Syamsul Arifin.
Uji coba itu dimenangkan oleh NIAC Mitra 2-1 dengan gol-gol yang dicetak oleh Samun Reza dan Syamsul Arifin, sedang Warna Agung lebih dulu unggul oleh gol libero Rony Pattinasarany.
Aku sudah duduk di kelas II SMP tahun 1978 ini, tetapi sepertinya kenaikan kelas akan ditunda oleh Menteri P dan K, diperpanjang satu semester karena banyaknya hari libur di tahun 1978. Sehingga kenaikan kelas atau kelulusan yang biasanya terjadi di bulan Januari, sejak tahun 1979 nanti berubah menjadi bulan Juli.
Tetapi semua itu aku tidak perduli, aku tenggelam dalam urusan sepakbola. Tiap hari, badan tubuhku ada di SMP Negeri 8 Jl Bunguran, Surabaya, tetapi jiwa dan pikiranku melayang-layang ke stadion Gelora 10 November, stadion Utama Senayan atau ke lapangan PJKA tempat IM, atau kampung Sidokapasan, tempat remaja gila bola berkumpul membahas sepakbola, bukan Matematika atau Fisika. Kami menyongsong Kompetisi Divisi Utama 1978-1979 putaran 2.
Viva Persebaya! (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.