Tahun sudah berganti dari 1978 ke 1979, ketika aku pulang dari sholat Jumat di Masjid Al Abror, Jl Simolawang, sambil melirik kios penjual koran yang memajang koran Kompas dan Jawa Post. Di situ ditulis “Simpson Akan Kawal Abdul Kadir.”
Sebentar malam Persebaya sudah ditunggu Persija yang gemas karena dua kali dipecundangi Persebaya di laga resmi. Bila dulu final 1977 Persebaya diragukan, malah bisa menang, kini justru Persebaya dalam posisi diunggulkan oleh sebagian besar pecandu dan petaruh.
RRI jakarta melaporkan malam itu, sama seperti dulu-dulunya, Persija unggul dulu 1-0, kali ini Andilala yang dijadikan starting oleh Janota mencetak gol pembuka. Kami semua suporter pendengar tidak cemas dan tidak panik, sangat percaya Persebaya akan membalas. Terbukti, Joko Malis sukses menjebol gawang Persija yang dijaga kiper baru Endang Tirtana, membuat skor 1-1, kini kami tinggal menunggu gol kedua.
Ketika Dede Sulaiman mencetak gol kedua Persija, kami belum juga diselimuti kecemasan. Dulu waktu final 1977 juga ketinggalan dua kali, toh selalu bisa menyamakan skor dan malah menang. Ketinggalan 1-2 itu biasa, walau Persebaya tidak juga segera membalas. Ketika bek kiri Johanes Auri mencetak gol ketiga Persija, kami tersentak, wajah cerah berubah muram, skor 1-3, Persebaya tidak pernah tertinggal dengan margin 2 gol.
“Jamput, ketinggalan 3-1 rek…wah, angel iki,” keluh Rudi, yang lain hanya terdiam.
Dengan susah payah Sunardi Rusdiana membangkitkan asa Persebaya, dia membuat skor jadi 2-3, Persija masih leading. Ketika di sisa waktu 20 menit Persebaya tidak juga menyamakan skor, barulah kami tersadar, Persebaya kalah 2-3, baru aku sadar bahwa Simpson berhasil mematikan gerak Abdul Kadir, seperti yang dia janjikan di koran.
King Tek, tetangga Tionghwa masih tersenyum “Gak popo, kalah tipis, Persibaya jik mimpin klasemen.” Benar juga, pikirku.
Kejutan besar terjadi di laga kedua, Persebaya dipecundangi Persiraja Banda Aceh 1-3, skor yang telak. Aku mengikuti siaran pandangan mata RRI itu seakan tanpa bernafas mendapati gawang Suharsoyo sudah jebol di menit awal dan kemudian terkena hukuman penalti. Apalagi kiper Suwarto dilaporkan bermain amat gemilang di bawah bombardement belasan roket dari para penyerang Persebaya. Suwarto menjadi tembok bagi peluang gol Persebaya. Tetapi Persebaya masih memimpin klasemen karena Persija kalah 1-2 dari PSM.
Tapi kalah dua kali beruntun setelah menjadi Raja di putaran I jelas itu suatu pukulan telak. Padahal lawan berikutnya cukup kuat, PSMS Medan, satu-satunya tim yang belum terkalahkan. “Persebaya kudu menang rek, nek gak iso menang…Wassalam.” begitulah situasinya.
Andai saja radio itu milikku tentu aku sudah membantingnya, bagaimana tidak, babak I belum kelar Persebaya dihajar 0-3 oleh PSMS, untungnya radio itu punya lik Supi’i. Gol Joko Malis diujung babak I tidak membuat lega hati kami. Beberapa teman yang tidak seberapa suka bola beranjak meninggalkan radio. Bagaimana ini? semoga di babak II Persebaya bangkit.
Bukannya bangkit, malah Suwarno membuat gol menjadikan PSMS leading jauh 4-1, musnah sudah harapan. Kesialan bertambah, Riono Asnan tergeletak, wajahnya kena bola tendangan keras Zulham Effendi, malah bola itu berbelok masuk gawang Suharsoyo, gol. Tidak pernah Persebaya tertinggal sampai 1-5. Ada apa ini? dimanakah Persebaya yang gagah perkasa ?
“Mulih, mulih!…mbojai,” teriak Suryanto bersungut-sungut meninggalkan tempat Nobar (Ngrungokno Bareng).
Tindakannya diikuti anak yang lain dan akhirnya kami semua bubar dengan kesal ketika laga belum berakhir, dan baru tahu skor akhir keesokan harinya, Persebaya dihajar PSMS 2-5 dan langsung dikudeta dari puncak tabel klasemen. Persebaya hancur. Tiga kekalahan beruntun.
Setelah malam itu, Persebaya resmi “Kehilangan Gelar” ketika PSM dan Persiraja gagal menang atas Persija dan PSMS, bahkan kalah, Persebaya pun melorot ke urutan III, berapapun nanti Persebaya bisa mengalahkan PSM di laga terakhir tidak akan menolong. Jangankan menang, bahkan PSM, tim terlemah di Divisi Utama, ikut-ikutan mempecundangi Persebaya dengan skor tipis 2-1.
Persebaya hancur sehancur-hancurnya, 4 kali tanding, kalah terus.
Aku yang rajin membaca koran dan mengikuti Dunia Dalam Berita TV, mendadak melakukan “Puasa” baca dan nonton TV. “Gawe opo moco koran? Nggarai mangkel ae.” Tapi namanya saja gila bola, aku masih pingin menyaksikan laga terakhir antara PSMS vs Persija yang seperti final, karena tinggal keduanya yang masih punya asa menjadi Juara PSSI.
Marek Janota tidak mengulangi kesalahan tahun 1978 lalu dengan mencadangkan Andilala, atau mengganti Endang Tirtana yang bermain bagus dengan Sudarno?. Terbukti Andilala mencetak satu-satunya gol kemenangan Persija ke gawang Taufik Lubis, untuk mengantarkan Persija meraih mahkotanya yang hilang. PSMS yang hanya butuh seri, terpaksa gigit jari.
Persija 8 – 5 – 1 – 2 15-8 11 *) Juara.
PSMS 8 – 4 – 3 – 1 20-14 11
Persebaya 8 – 3 – 1 – 4 17-16 7
PSM 8 – 2 – 2 – 4 10-18 6
Persiraja 8 – 1 – 3 – 4 7-13 5
Entah apa yang terjadi di dalam tubuh Persebaya, penampilan gagah perkasa di putaran pertama berubah 180° di putaran kedua yang diawali dengan penuh optimisme. Apakah ada isu suap? atau ada pengaturan skor? aku sama sekali tak mendengar dan percaya isu itu. Ataukah Persebaya dan pendukungnya terlalu sombong dan over confident?
Kekecewaan mendalam, sakit hati dan alergi membaca berita membuat aku tidak ingat, kapan lagi aku menyaksikan Persebaya bermain sebagai sebuah tim setelah hancur di kompetisi 1978-1979. Skuad Persebaya tahun 1970 an adalah salah satu skuad “Terkuat” sepanjang sejarah walau tidak bergelimang prestasi. Tim ini sudah mulai tumbuh perkasa sejak awal tahun 1970-an. Mereka adalah skuad yang melegenda dengan nama-nama besar.
Berarti, itulah terakhir kali aku mendengar mereka masih satu tim, karena setelah itu, para pemain Persebaya menapak jalan sendiri-sendiri bersamaan digulirkan Kompetisi Galatama.
Sunardi Rusdiana dan Budi Riva hijrah ke Warna Agung, Abdul Kadir ke Arseto, Johny Fahamsyah ke IM Jakarta dan sebagian besar pemain hijrah ke NIAC Mitra seperti Riono Asnan, Hamid Asnan, Wayan Diana, Rudy William Keeltjes, Joko Malis, Suyanto, Samun Reza, Yudhi Suryata bergabung dengan pemain Mitra seperti Syamsul Arifin, Budi Aswin, dan Hendriks Montolalu serta boyongan 4 pemain PSM, Yusuf Male, Malawing, Yance Lilipaly dan Dullah Rachim. Yang masih tinggal yaitu Suharsoyo, Subodro, Waskito dan Rusdy Bahalwan karena mereka adalah PNS.
Bagaimana dengan Hadi Ismanto? masyarakat Jawa Timur dan segenap pendukung Persebaya berharap dia memperkuat NIAC Mitra atau tetap di Persebaya, karena Hadi merupakan “Icon” atau Permata milik Persebaya dan Jawa Timur. Sebuah majalah yang sempat kubaca menulis bahwa Hadi Ismanto akan dibayar Rp 300.000 per bulan oleh A. Wenas bila mau gabung ke NIAC Mitra. Bila itu terjadi, maka jumlah itu mungkin akan menjadi bayaran termahal di Galatama, saat itu.
Namun akhirnya ada khabar bahwa Hadi Ismanto pindah ke IM bersama kompatriotnya, Johny Fahamsyah, bergabung dengan Johanes Auri, Yudo Hadianto, Dede Sulaiman, Junaedy Abdillah dan lainnya, tentu saja berita itu membuat sebagian kami patah hati, meski sadar bahwa Hadi Ismanto sendiri yang tahu persis, mengapa ia memilih hijrah ke IM Jakarta, semua percaya itu sudah diperhitungkan masak-masak.
Perlahan tapi pasti, NIAC Mitra ternyata bisa mencuri hati publik Surabaya dan Jawa Timur. Cinta publik kepada Persebaya lambat laun mulai diambil-alih. Rentetan hasil bagus dan tidak terkalahkan di laga-laga awal Kopetisi membuat massa membludak saat pertama kalinya NIAC Mitra menjalani laga home, tiga laga beruntun.
Sayangnya, justru saat jadi tuan rumah pertama itu NIAC Mitra dipecundangi 1-2 oleh tim yang belum dikenal, Jaka Utama Lampung yang diasuh ex bintang Persebaya, Jacob Sihasale, diperkuat pemuda-pemuda asal Jatim semisal Bambang Sunarto, Subangkit, Sucipto atau Maura Hally dan kiper Muhammad Asyik. Gol NIAC Mitra dibuat Sunardi Rusdiana.
Demikian pula yang terjadi dengan diriku, sejenak aku melupakan Ronny Pasla yang terkena skorsing lama dan beralih kepada kiper muda yang mencuri perhatian publik yaitu Purwono, kebetulan pemain ini membela NIAC Mitra. Purwono menunjukkan aksi hebatnya kala NIAC Mitra menjamu Pardedetex, pesta pora penonton yang sampai meluber ke sintelban bertambah ketika banana kick Yusuf Male dan sundulan indah Syamsul Arifin menjadi gol.
Saat menjamu Arseto, giliran Joko Malis menunjukkan olah bola yang menawan yang belum pernah kulihat sebelumnya saat dia memperkuat Persebaya. Gocekan Joko Malis begitu indah, melewati banyak bek Arseto, berputar-putar, saking indahnya sampai dia lupa mencetak gol, hingga Arseto sukses memaksa skor 0-0.
NIAC Mitra semakin berkibar kala sukses menjadi Juara Aga Khan Gold Cup 1979 di Dacca Bangladesh sebagai wakil PSSI, mengalahkan tim-tim kuat Asia semisal Korea Selatan dan China (meski keduanya tim B atau perwakilan klub), ditambah terpilihnya Dullah Rachim sebagai pemain terbaik. Sementara Persebaya makin tidak berdaya setelah dikalahkan Persija lewat adu penalti di Piala Surya (???) sejak kegagalan itu nama Rusdy Bahalwan, Waskito, Subodro dan Suharsoyo perlahan-lahan tidak terdengar lagi sebagai pemain.
Yah, perlahan-lahan… Sandyakalaning Persebaya. (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.