Jika kisah-kisahku sebelumnya selalu berisi cerita kurang duit melulu, kali ini agak mendingan, karena sudah punya uang sendiri, hihihi. Ceritanya, meski nilai ijazah SMA-ku termasuk kurang memuaskan, tapi ilmu eksakta yang aku terima, lumayan melekat di otak. Buktinya, aku mampu lolos tes masuk ke sebuah BUMN terkenal milik negeri.
Dari 3.000 lebih pelamar, hanya sekitar 150 yang diterima, aku tidak mau bersumpah untuk membuktikan bahwa aku lulus MURNI, tanpa koneksi ataupun sogokan. Tapi, pembaca mesti percaya.
Bayangkan dari mana keluargaku mendapat uang untuk menyuap? SPP saat SMA saja sering menunggak, jikalau toh ada uang, tentu aku sudah menginjak bangku kuliah, tidak harus bekerja. Lagipula, perusahaan yang aku masuki ini terdepan dalam hal “Bersih dan Transparan” termasuk dalam hal recruitment SDM. Bukan aku mengecap, tapi begitu adanya, tanpa menafikkan ada juga 1-2 yang lolos dengan tanda kutip. Aku tidak!
Sekarang aku punya uang, aku bisa saja menonton semua pertandingan sepak bola di stadion, kalau perlu di kelas VIP. Tetapi saat itu (1985-1986) sepak bola Jawa Timur kehilangan idola. Persebaya masih perlahan menapak sukses dan sering direcoki. NIAC Mitra sedang dalam masa pembaharuan, masih kalah mengkilap dari Yanita Utama, KTB, dan Pelita Jaya. Pemain-pemain idola sudah pada meredup, atau pindah ke klub lain.
Jika mau nonton bola tinggal nunggu usai jam kantor pukul 14.00 WIB (saat itu, Sabtu belum menjadi hari libur) sekali naik bus kota Demak-Kutisari dari depan kantorku di Jl Ngagel Jaya Selatan, turun perempatan Ngaglik, sudah dijemput calo tiket yang bertebaran. Beres!
Suatu sore di tahun 1987 ketika Persebaya mulai bersinar, aku nonton Persebaya vs Perseman Manokwari, karena penasaran dengan berita di JP menulis nama Seger Sutrisno, “Apa bener ini temanku IM dulu yang dipanggil Gundul?” Dengan masih berseragam dinas, aku duduk di tribun selatan belakang gawang.
Mataku seperti kurang percaya melihat dia (Seger Sutrisno) benar-benar tercapai cita-citanya menjadi pemain Persebaya.
“Alhamdulillah, Gundul sukses,” kataku dalam hati. Dulunya yang santer diberitakan masuk Persebaya yunior adalah Tole (Soewarko Koko) dan Yoyok.
Seger mainnya elegan, gocekannya bagus, larinya cepat dan terobosan-terobosannya yahud, fisiknya juga oke, sehingga mampu mencuri hati penonton. Dengan kaus kaki berkuncir dia tampak bahagia memakai jersey hijau-hijau Persebaya baru mirip NIAC Mitra (dulu Persebaya identik dengan hijau-putih).
Lalu pandanganku beralih ke sosok yang berdiri di bawah mistar, dia Putu Yasa yang menggeser kiper Ridwan. Sungguh Putu kiper yang sangat bagus, terbang sambil mentip bola tembakan pemain Manokwari. Setiap Seger mendapat umpan terobosan di sisi kanan, segera tepuk tangan penonton membahana, padahal belum tentu berhasil.
Demikian pula ketika kiper Putu Yasa mempertontonkan skill-nya yang menawan, applaus meriah selalu mengiringi. Persebaya sore itu menang 2-1 walau terlihat kerepotan menghadapi Perseman.
Di laga awal, aku mendengarkan RGS menyiarkan Persebaya menghempaskan PSIS dengan 2-0 untuk memulai era baru yang gemilang, tetapi pertandingan yang paling menguras tensi adalah lawan PSM Ujung Pandang.
Persebaya memulai laga dengan kepercayaan diri tinggi mampu mengalahkan PSM, karena di saat tandang bisa mencuri poin di Mattoangin. Ternyata barisan belakang PSM tampil lugas bahkan keras hingga mampu menyulitkan penyerang Persebaya.
Gol yang ditunggu tak juga tercipta, bahkan PSM membuat kejutan kala Hengky Siegers bisa lolos dan menembak dengan keras, PSM leading 1-0 tapi penonton belum cemas.
Kecemasan baru benar-benar mencekam ketika sampai menit-89 skor tetap 1-0 buat PSM. Tekanan bertubi-tubi tidak mampu menembus gawang PSM yang dijaga Herman Kadiaman (?). Ketika matahari sudah malas bersinar dan nampaknya Persebaya akan kalah, Maura Helly mencetak gol di injury time, 1-1. Sontak penonton bergemuruh menyambutnya. Kerasnya teriakan suporter menggetarkan sendi-sendi bangunan tua Gelora 10 November.
Persebaya melenggang ke babak 6 Besar, sedangkan PSM tersisih.
Meski lolos, aku pribadi tidak yakin akan kemampuan Persebaya karena melihat produktifitas gol yang minim, hanya mencetak 7 gol, kemasukan 6, paling jelek dibandingkan dengan PSIS, Persipura dan tim yang tidak lolos, PSM dan Perseman. Justru PSIS yang sangat produktif dengan 13 golnya. Tapi ketika Persebaya mampu menahan juara bertahan Persib yang kuat 0-0 dilanjutkan draw lawan Persipura 0-0 aku mulai tertarik.
Apalagi ada program menyokong Persebaya langsung ke Senayan dengan judul Tret-tet-tet di Jawa Pos, maka Kompetisi 6 Besar ini semakin menarik. Terbukti Tret-tet-tet itu tidak sia-sia, Persebaya sukses mengalahkan Persija 2-1 dan bisa menghidupkan peluang ke Grandfinal.
Kejutan besar terjadi, PSIS Semarang dengan Total Voetball ala Sartono Anwar sudah lebih dulu meraih satu tempat di Grandfinal dengan membenamkan Persija 3-1, PSMS 1-0, draw dengan Persipura dan Persebaya 1-1, biasanya Persib, PSMS atau Persija. Persib tersisih meski menang 1-0 atas PSIS karena Persib sebelumnya selalu draw dalam 4 pertandingan.
Tret-tet-tet kembali digalang JP ketika Persebaya menghadapi PSMS di laga akhir. Dibantu tret-tet-tet, Persebaya sukses memenangani laga 2-1 dan menjadi pemuncak klasemen akhir melampaui PSIS dan andai saja tidak ada Grand Final, maka Persebaya lah yang menjadi juara.
“Grand Final lawan PSIS! bagaimana ini, rek?” tanyaku dalam hati, galau ingin menonton.
Aku kini seorang karyawan, tidak bisa seenaknya izin beberapa hari ke Jakarta hanya untuk nonton bola. Tetapi hatiku berkecamuk, meronta-ronta ingin mendukung klub kesayanganku. Akhirnya, jurus terakhir terpaksa aku keluarkan, yaitu “Berbohong” kepada Kepala Seksiku, bapak Johanes Dahuri, orang Mojoklanggru Lor.
“Pak saya minta izin 3 hari, mau mengurus SIM.”
Pak Johanes Dahuri terkejut, “Lho, kok sampai 3 hari?”
“Iya pak, khan harus ngurus administrasi dulu, tes teori dulu, baru praktek, antri lama pak di Colombo.”
“Oke, usahakan lulus ya, jangan sampai molor.” Boss ku memberi izin.
“Baik pak, terima-kasih.”
Horeee!! aku berjingkrak-jingkrak senang meski itu dalam hati, padahal sebenarnya aku sudah punya SIM C. Kalau tidak mengibuli atasan, bagaimana mungkin aku bisa ke Senayan? kok ndilalah esok siangnya bos keluar kota, aku pun ngilang meluncur Jl Yos Sudarso (perwakilan Jawa Pos) untuk mendaftar tret-tet-tet, tetapi apes, sudah antri ternyata alokasi suporter sudah penuh, banyak yang kecewa, terutama aku.
Aku lalu mencari teman di Kapasan dan ternyata ada Arifin, dia juga yang akan berangkat, maka kami pun bergegas ke Pasar Turi, tanpa ganti baju, tanpa alat mandi. Kebetulan karcis masih ada, (Rp 8.000 KA Gaya Baru Malam) kelas Ekonomi thok, dan tidak dapat nomor kursi, ah tidak mengapa berdiri atau duduk di bawah, toh disana sudah ribuan suporter Persebaya menyesaki gerbong akibat gagal ikut Jawa Pos.
Di stasiun sudah banyak penjual ikat kepala bertuliskan “Viva Persebaya” harga Rp 500 dan mulailah perjalanan panjang menuju Jakarta.
Di GBK, Suporter Persebaya lebih dominan daripada Suporter PSIS meski jarak Jateng menuju Jakarta jelas lebih dekat ketimbang dari Jawa Timur. Senayan menghijau meski tidak sepenuh kala Grandfinal antara Persib vs PSMS tahun 1985 lalu.
Keyakinan Persebaya bakal Juara menjulang karena yang dihadapi hanya PSIS Semarang, bukan PSMS, Persib atau Persija. Tetapi…oh, tidak! ternyata PSIS bermain sangat-sangat bagus, tidak takut nama besar Persebaya. Benar-benar itu Total Voetbal, rancak dan amat menyulitkan Green Force, julukan baru dari Dahlan Iskan (kalau tidak salah, resmi dipakai tahun 1988 ya).
Ketika di akhir babak 2 Rae Bawa gagal men-tackle Budi Wahyono (?) pemain ini dengan cepat menusuk sisi kiri Penalti, mengirim umpan diagonal dan di sana sudah bersiap Syaiful Amri, sundulannya tidak keras tapi memantul, sulit diantisipasi oleh Putu Yasa, gol! Suporter PSIS bersorak, suporter Persebaya tersentak, skor 1-0.
Persebaya gencar menekan, dan suasana menjadi panas tatkala sundulan Syamsul Arifin (atau Seger Sutrisno ya?) sudah melewati garis gawang, lalu dihalau dengan sundulan oleh bek PSIS, Suporter bersorak tetapi wasit tidak menyatakan itu Gol, Persebaya protes, namun tidak bisa apa-apa, karena teknologi garis gawang belum ada, bahkan belum terfikirkan.
Dengan hati galau, mangkel, marah dan dendam, aku dan Arifin meninggalkan stadion. Kami terpaksa menginap karena jadwal KA tujuan Surabaya (Jatim) di atas pukul 20.00 WIB sudah tidak ada lagi. Sebenarnya ada tersisa jurusan Semarang, tetapi penuh dengan Suporter PSIS, kalau aku paksakan naik bisa makan hati, maka tidak ada yang bisa kami perbuat selain tidur di Stasiun Senen bersama ratusan Suporter yang lain.
Semua kursi panjang di ruang tunggu penumpang sudah ditiduri orang, kehabisan tempat. Aku bisa saja menyewa kamar atau hotel, tetapi aku lebih memilih tidur di lantai dingin berdebu, beralaskan koran bersama ratusan Suporter Persebaya lain yang juga menggelandang disana. Tidak mengapa walau terus terang saja, badan terasa sakit disana-sini belum lagi nyamuknya.
Andai saja kepala seksiku, pak Johanes Dahuri tahu aku tidak mengurus SIM, tapi ikut Suporter ke Senayan, tentu saja dia akan berteriak… “Kapok koen!” (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.