Dalam liga sepak bola professional perebutan poin adalah tujuan tim untuk tetap bertahan dalam kompetisi. Apalagi tim yang telah mencanangkan target juara ataupun sekedar bertahan di 5-10 besar. Hal itu adalah keharusan yang tidak boleh terpengaruh oleh dinamika yang terjadi di luar lapangan.
Persebaya adalah contoh dari sebuah peserta kompetisi tanah air yang paling dinamis. Hingga pekan ke-17 masih berkutat di papan bawah, walau tidak berada di zona degradasi. Kini, untuk merangsek naik, Persebaya akan berhadapan dengan tim papan atas Persib Bandung dalam laga klasik status tunda pada 26 Juli 2018.
Berbekal status tuan rumah seharusnya ini menjadi pemicu untuk merangsek naik. Sebab, pasca kekalahan kontra PSIS menyisakan beban berat dengan badai cedera serta kartu merah pada pemain inti. Ini persoalan yang harus diatasi jika tak ingin menemani tim “promosi” menghiasi zona merah, apalagi laga ini diyakini sebagian orang sebagai “tabungan” pekan yang tertunda, apalagi tabungan kontra Persija tak mampu terselamatkan.
Laga ini tak ada nuansa rivalitas. Ini adalah matchday yang membutuhkan fokus maksimal meraih poin. Secara psikis, kemesraan antar suporter dapat merusak motivasi pemain, apalagi Persib datang dengan kekuatan penuh untuk mengisi puncak klasemen. Sementara Persebaya, alih-alih mengamankan poin, pemakluman bakal terjadi jika berbagi poin adalah sebuah langkah yang “adil”, atau kalah sekalipun tak jadi masalah, sebab kalah oleh “saudara” sendiri.
Sambutan hangat pada bobotoh tak kalah menarik menghias linimasa. Tweet war kedua tim tak lebih sebuah komedi, tak ada ruh kompetisi di dalamnya. Belum lagi dipastikan sambutan panpel dan bonek yang menjadikan ini layaknya sebuah laga persahabatan/friendly game atau laga amal. Setidaknya itu sudah terbukti ketika kontra Barito Putera dan Persipura Jayapura, tak ada hasil maksimal di situ.
Laga demi laga berlangsung di Gelora Bung Tomo lambat laun menjadi ajang menyaksikan gubahan-gubahan lagu ala pramuka yang terpatri dalam mindset pemain, hanya ketika kontra Arema FC kita benar-benar dalam “nyawa” sebuah kompetisi, selebihnya hanya hiruk pikuk semacam “kemesraan ini janganlah cepat berlalu” di lagu Franky & Jane.
Persaudaraan adalah kultur kita sebagai orang timur. Kata jingle iklan Kuku Bima “kita semua bersaudara”, tapi tidak untuk Aremania dan Jak Mania sepertinya. Fanatisme hanya milik mereka yang meyakini bahwa kecintaan pada tim kebanggaan tak bisa dibagi-bagi. Sebab itu akan menduakan cinta dan akan menjadi prahara.
Yang terbaik saat ini menebalkan ke-“iman”-an sebagai Bonek yang terbalut slogan “KitaPersebaya”. Hati dan jiwa hanya untuk Persebaya, karena di hadapan kawan dan lawan, Bonek harus tetap menjadi Bonek yang meyakini segenap hati “Persebaya Selamanya”. Persis dengan bobotoh yang berbangga pada “Persib nu Aing”.
Mengutip tulisan Green Nord tentang Kita Persebaya bukan sekedar slogan, “Sinergitas tiga elemen menjaga dan mengawal untuk kejayaan Persebaya” menunjukan bahwa segala yang terkandung di dalam Persebaya adalah jaminan mutu tim ini tidak boleh lunak dan lemah.
Inilah saat yang tepat untuk meyakini bersama “Persebaya sak lawase” tetap penuh gairah kompetisi dan tidak terhenti serta luntur oleh kehadiran bobotoh dan Persib di Surabaya.
Salam satu nyali! WANI!