Pertandingan antara Persebaya kontra Persela di Stadion Gelora Bung Tomo, Minggu (5/8) kemarin, menegaskan rujuknya suporter kedua tim. Bonek dan Lamongan Fans dengan penuh kegembiraan sama-sama berjingkrak merayakan pertandingan.
Bagi Lamongan Fans, kedatangannya di Surabaya merupakan kunjungan balasan setelah Bonek lebih dulu bertamu pada putaran pertama Liga 1, di Lamongan. Kunjungan balasan ini berbuah kabar gembira, bahwa Surabaya sudah benar-benar aman bagi Lamongan Fans.
Suatu pemandangan yang nyaris tidak pernah tersaji dalam rentang 15 tahun terakhir. Sejarah pun mencatat, perdamaian mampu terwujud tanpa ikrar formal yang dipelopori para politisi atau pun aparat penegak hukum. Melainkan, lahir dan tumbuh dari komitmen bersama yang begitu kuat, sejak tataran akar rumput Bonek dan Lamongan Fans itu sendiri.
Titik Awal Permusuhan
Bara permusuhan yang berlangsung hampir dua windu ini bermula dari tragedi pada 27 Juli 2003. Kala itu, Persela dijadwalkan bertanding melayani tamunya, Persebaya, di Stadion Surajaya Lamongan dalam fase 8 besar kompetisi Divisi I (sekarang setara Liga 2).
Saat itu, sejak pagi Bonek sudah menguasai area stadion. Beranjak sore hari, tribun penonton sudah dipenuhi Bonek yang seakan tidak membiarkan tuan rumah mendapat kuota di kandang sendiri, mengingat keterbatasan kapasitas stadion milik Pemda Lamongan itu.
Pertandingan belum berlangsung, papan skor sudah berubah untuk kemenangan Persebaya, sesuai keinginan Bonek. Entah bagaimana selanjutnya, kericuhan pun meletus. Gesekan antara Bonek dan Lamongan Fans yang dibantu warga tak bisa terhindarkan.
Insiden itu memakan seorang korban tewas dari pihak Bonek. Adalah Rahmat Hidayat, korban pertama dari rivalitas ini. Rahmat Hidayat tewas terlindas truk saat berusaha menyelamatkan diri dari kejaran warga Lamongan saat itu.
Kejadian ini ternyata berbuntut panjang pada tahun-tahun berikutnya. Apalagi, musim berikutnya Persebaya dan Persela sama-sama lolos ke kasta tertinggi kompetisi nasional. Bajol Ijo melesat dengan predikat juara Divisi I, sedangkan Laskar Joko Tingkir untuk kali pertama merasakan aroma kasta tertinggi setelah lolos melalui fase play off di Stadion Manahan Solo.
Tahun 2004, Persebaya bertandang ke Lamongan tanpa dukungan langsung dari Bonek yang memilih melaksanakan nonton bareng melalui JTV di sejumlah lokasi. Meski demikian, Green Force tetap mampu menumbangkan Persela dengan skor telak, 3-0.
Hasil itu membuat Lamongan Fans kecewa, meski sebenarnya pertandingan belum rampung. Laga itu terhenti di menit 64, karena kericuhan tak mampu diredam lagi. Penonton memasuki lapangan, mengejar para pemain Persebaya dan wasit.
Berbagai lemparan batu, bola api, serta benda-benda lain juga dihadiahkan kepada pemain Persebaya dan aparat keamanan. Stadion Surajaya mengalami kerusakan cukup parah dan beberapa provokator diamankan pihak berwajib.
Tahun-tahun selanjutnya dilalui Bonek dan Lamongan Fans dengan penuh permusuhan, meskipun kedua kesebelasan tidak bertanding. Bonek selalu terlibat gesekan dengan warga dan Lamongan Fans ketika melintasi Lamongan saat hendak mengawal Persebaya bertandang ke luar kota.
Salah satu kenangan buruk yang tak terlupakan adalah laga tandang Persebaya menghadapi Tangerang Wolves di kompetisi Liga Prima Indonesia (LPI), 23 Januari 2011. Sehari sebelum pertandingan, sweeping besar-besaran dilakukan warga bersama Lamongan Fans terhadap Bonek yang hendak menuju Tangerang.
Beberapa Bonek yang teridentifikasi lantas diturunkan dari KA Kertajaya, kemudian dilucuti atributnya dan dihakimi tanpa bisa melawan. Saat kereta akan berangkat, masih ada beberapa Lamongan Fans yang berada di dalam gerbong KA.
Mengetahui hal itu, Bonek yang lolos dari sweeping membalas perlakuan Lamongan Fans. Seorang fans bernama Gilang, tewas tertusuk dibagian leher dan jasadnya ditemukan di semak-semak pinggir perlintasan KA. Selain itu, dua orang lain dari pihak Lamongan Fans mengalami luka cukup parah.
Jalan Terjal Upaya Perdamaian
Korban demi korban yang terus berjatuhan disadari merupakan dampak permusuhan kedua belah pihak. Karena itu, upaya perdamaian mulai dirintis. Upaya mempertemukan kedua belah pihak sempat dipelopori Kapolres Lamongan pada tahun 2012.
Saat itu, pertemuan dilakukan beberapa saat sebelum berlangsungnya laga Persibo Bojonegoro kontra Persebaya di Bojonegoro. Inisiatif ini bermaksud mencegah adanya gesekan antara warga dan Bonek yang hendak melintas Lamongan.
Kata damai pun sempat terikrar di antara kedua belah pihak yang diwakili para pentolan masing-masing. Sosialisasi gencar dilakukan di pihak Bonek, bahwa Bonek dipersilakan lewat Lamongan asal tidak melempari permukiman warga.
Sayang, pertaruhan ini berakhir petaka. Ikrar damai yang telah tercetus mentah ketika Bonek tetap mendapatkan serangan saat melintas Lamongan. Empat orang Bonek tewas dalam peristiwa tersebut.
Mayoritas disebabkan luka pendarahan pada bagian kepala, karena terkena lemparan batu saat berada di atap gerbong kereta. Mereka yang tewas adalah Sudarmadji, Miftahul Huda, Abdul Farid, dan Soimul Fadli.
Kejadian itu kembali meningkatkan tensi tinggi rivalitas Bonek dan Lamongan Fans. Beberapa tahun kemudian, saat Persebaya tidak diakui PSSI yang membuat tim tersebut tidak berkompetisi, secara alamiah aroma panas Bonek – Lamongan Fans mulai mencair.
Gelombang simpati mengalir dari suporter di berbagai daerah, termasuk Lamongan Fans, untuk Bonek yang tak pernah berhenti memperjuangkan tim kebanggaannya. Beberapa kali perjalanan Bonek ke Jakarta untuk menuntut keadilan, juga mendapat sambutan positif di Lamongan.
Tidak hanya memastikan perjalanan Bonek aman saat melintasi Lamongan, sejumlah sumbangsih lain juga diberikan Lamongan Fans, seperti bekal makanan dan minuman. Beberapa kali spanduk dukungan #SavePersebaya juga terbentang di Stadion Surajaya saat Persela berlaga.
Tidak hanya itu, sejumlah pertemuan informal antara kedua belah pihak juga kerap berlangsung. Puncaknya, perdamaian sesungguhnya terlihat saat Persela menghadapi Persebaya di Stadion Surajaya, putaran pertama lalu.
Meski Panpel sebenarnya tidak memperkenankan Bonek hadir atas intervensi kepolisian, namun nyatanya ribuan Bonek tetap menemani Persebaya. Lamongan Fans pun menerima dengan positif, dengan sambutan luar biasa.
Kembalinya Si Adik ke Pangkuan Kakak
Panjangnya kisah pelik rivalitas Bonek dan Lamongan Fans ini penulis paparkan bukan untuk mengungkit masa-masa kelam yang telah berlalu. Sebaliknya, rentetan cerita ini perlu disadari sebagai sebuah sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari hitam-putih tinta sepakbola nasional.
Lebih dari itu, tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengenang para korban, saudara-saudara kita yang telah meregang nyawa. Saya membayangkan, arwah para korban, baik dari pihak Bonek maupun Lamongan Fans, turut merayakan perdamaian ini dengan senyum dari surga.
Mereka semua, pasti turut berpesta dengan cara yang berbeda di surga, sebagaimana kita yang masih berkesempatan menjadi pelaku perdamaian di atas tribun. Selanjutnya, tulisan ini juga layak dimaknai sebagai sarana instrospeksi diri masing-masing.
Jika sudah begitu, maka anak cucu kita kelak, generasi penerus Bonek dan Lamongan Fans, tidak perlu mengulang kesalahan masa sebelumnya. Toh, Bonek dan Lamongan Fans sejatinya terlahir dari rahim yang sama, yakni kecintaan terhadap sepakbola.
Mayoritas warga Lamongan bagaimanapun juga pernah menjadi pendukung Persebaya, sebelum Persela menancapkan kukunya di kancah sepakbola kasta tertinggi nasional. Karenanya, perdamaian Bonek dan Lamongan Fans ibarat kembalinya si adik kepada pangkuan mesra kakaknya.
Dengan demikian, senyum dari surga tidak hanya terhampar dari para korban rivalitas ini, tetapi juga para leluhur kita semua. Senyum yang sekaligus sebagai restu untuk panjangnya usia perdamaian, selamanya.
*) Muhammad Choirul Anwar, seorang pria yang mencintai Persebaya dengan sederhana.