Sudah saya gambarkan sekelumit tentang Football Spectators Act (FSA) 1989 serta regulasi turunannya yang dibikin parlemen Inggris dalam mengatasi problem suporter sepak bola dalam tulisan kemarin di halaman Liga Indonesia, Jawa Pos, berjudul Kapan Kita Punya UU Suporter Sepak Bola? Pertanyaannya, apakah undang-undang itu relevan dan diperlukan di tanah air?
Akan sangat panjang untuk membahas terperinci FSA dan turunannya. Jadi, kita coba membahas garis besarnya. Jangan dikira keberadaan FSA hanya akan membuat semakin banyak aturan untuk penonton sepak bola. Tidak semata itu. Justru, banyak kontennya yang membuat penonton yang ingin nyaman semakin nyaman dan terlindungi.
Tragedi Heysel 1985 mengakibatkan 39 penonton meninggal dan 600 lainnya luka-luka. Lalu, tragedi Hillsborough pada 1989 dalam semifinal Piala FA antara Liverpool versus Nottingham Forest memakan korban 96 nyawa. Dari dua insiden itu kemudian pemerintah Inggris merasa perlu mengatur soal tontonan sepak bola di stadion.
Karena itu, bukan hanya penonton yang diatur dalam regulasi, melainkan juga kenyamanan untuk menonton. Demi keamanan dan kenyamanan itu, standar stadion diatur dengan ketat dalam FSA. Stadion untuk klub level teratas dan kedua diwajibkan tribun dengan tempat duduk bernomor.
Juga, ada jalur khusus untuk bisa memisahkan antara suporter tuan rumah dan tamu. Sebab, suporter tamu wajib diberi kuota sesulit apa pun pengamanannya. Sisanya, ada beberapa aturan yang sebenarnya sudah terpenuhi di stadion-stadion klub-klub Liga 1 pada umumnya di Indonesia.
Alasan mengapa harus tempat duduk bernomor karena dengan begitu mudah mendeteksi pelanggaran dan tentunya demi kenyamanan menonton pertandingan. Sebab, data setiap penonton memang sudah terintegrasi di database. Dalam FSA juga diatur terkait identitas khusus bagi penonton sepak bola. Biasanya terdaftar dalam keanggotaan klub.
Setelah memaksa setiap klub untuk memiliki stadion dengan standar yang sesuai FSA dan turunannya, ada juga yang mengatur soal pelanggaran-pelanggaran laten yang dilakukan suporter. Tidak berbeda jauh dengan di tanah air. Pelanggaran latennya seperti kekerasan, perusakan, pelemparan benda ke lapangan, menyalakan flare, menyulut smoke bomb, masuk ke lapangan, serta serangan kepada pemain, ofisial tim, atau wasit.
Apabila dilanggar, itu bisa masuk kategori pelanggaran hukum. Dan, yang terkena dampaknya ya tentu saja pelaku. Bukan seperti sekarang di Indonesia di mana belum ada regulasi khusus yang mengatur itu. Dampaknya, penonton yang masuk ke lapangan belum jelas hukumannya apa dan dihukum atas pasal apa?
Kalau mengacu kepada keputusan-keputusan Komdis PSSI yang berpatokan pada regulasi saat ini, yakni Kode Disiplin PSSI 2018 dan Regulasi Liga 1 dan Liga 1 serta FIFA Laws of the Game, memang belum terperinci mengatur soal pelanggaran yang dilakukan seorang penonton. Dan, yang kena getahnya adalah klub.
Berdasar data dari sidang Komdis PSSI hingga pekan ke-23 lalu, menyulut flare dan pelemparan botol atau benda ke lapangan menjadi yang paling banyak terkena denda. Dari lima besar yang paling banyak terkena denda di Liga 1, yakni Persebaya Surabaya, Arema FC, Sriwijaya FC, PSMS Medan, dan Persib Bandung, total denda yang dijatuhkan mencapai Rp 2,5 miliar. Itu belum termasuk 13 klub Liga 1 lainnya dan beberapa klub di Liga 2.
Kenapa pelanggaran itu terus berulang? Sebab, penonton sebagai pelaku tidak terkena dampak hukuman langsung. Yang melempar puluhan orang, tapi yang terkena klub atau bisa jadi ribuan suporter. Tentu tidak adil. Kalau mengacu pada FSA serta turunannya, si pelaku yang terkena hukumannya. Meski klub juga terancam kena karena gagal dalam urusan memberikan keamanan dan kenyamanan menonton.
Nah, kalau ada regulasi yang mengatur membawa flare atau smoke bomb ke dalam stadion melanggar hukum dan bisa ditindak polisi, si pelaku akan berpikir seribu kali untuk nekat. Kalau ada regulasi yang mengatur suporter masuk ke lapangan dianggap melanggar hukum dan bisa ditindak polisi, mungkin suporter yang pekan lalu petenteng-petenteng menyebar duit receh di lapangan lalu mengintimidasi pemain lawan saat sedang pemanasan bisa ciut nyali.
Mumpung masih hangat, saya ingin mencontohkan. Ketika Arema FC menjamu Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang (6/10), saat para pemain tim tamu sedang pemanasan pada jeda babak pertama, ada dua penonton yang masuk ke lapangan. Ada yang bergaya dengan menebar-nebar duit dan yang satunya malah menantang kiper cadangan Persebaya Alfonsius Kelvan berkelahi.
Berdasar regulasi yang kita miliki sekarang, mereka memang melanggar. Tapi, apakah yang kena adalah dua pria jagoan itu? Saya kok ragu. Pasti yang terdampak Arema FC. Sebab, tidak ada aturan hukum yang menjerat mereka secara personal. Padahal, terlihat nyata. Banyak rekaman video dan fotonya yang tersebar di media sosial. Bahkan, ada media yang memasang fotonya yang gagah berani itu dengan ukuran sangat besar. Pertanyaannya, saat Komdis PSSI nanti bersidang, mereka berdua kena hukuman atau tidak? Kalau kena, landasan hukumnya apa?
Kembali ke FSA. Soal chant provokatif ataupun rasis juga diatur secara terperinci dalam The Football Offences Act 1991. Jangankan kata-kata provokatif dan rasis, apabila menonton pertandingan di Inggris dan berdiri di tribun duduk, lalu steward meminta Anda duduk. Anda tersinggung, menyerangnya dengan kata-kata kasar, itu dianggap kriminal dan polisi akan terlibat. Apalagi, kalau sedang mengheningkan cipta, eh ada dirigen atau capo memimpin lagu dibunuh saja ke kubu lawan, duh bisa kena pasal itu.
Apa yang diberlakukan di Inggris memang tidak serta-merta tepat diterapkan di tanah air. Namun, problem belum adanya regulasi terperinci juga menjadi pekerjaan rumah yang kudu diberesi. Apakah itu menjadi ranah PSSI atau pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, silakan duduk bersama membahasnya.
Apabila dalam aturan perundang-undangan, UU atau perppu, dinilai terlampau tinggi mengurusi suporter, kira-kira apa yang tepat? Bisa jadi, Kemenpora sebagai yang terkait langsung punya solusi atau punya tawaran regulasi. Inilah saatnya PSSI dan Kemenpora benar-benar berkolaborasi. Bukan sibuk dengan panggung masing-masing. (habis)
*) Mohammad Ilham, Wartawan Jawa Pos
*) Tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos edisi Rabu, 10 Oktober 2018