Sepak bola Surabaya patut bergembira. Dua tahun berada di Liga 1, dua tahun penuh cerita dari Persebaya.
Tahun ketiga di kasta tertinggi persepakbolaan tanah air adalah tahun yang baik untuk Persebaya meningkatkan kemampuannya berbicara di Liga 1. Setidaknya itu menurut penilaian penulis dalam tulisan-tulisan pemikiran terdahulu. Meskipun singkat, dua tahun di kasta tertinggi rasanya cukup untuk mengetahui gambaran besar liga dan potensinya. Bisa baik juga buruk.
Menariknya, musim lalu semua klub rata mendapatkan permasalahan yang sama yaitu soal jadwal. Imbasnya hitung-hitungan ekonomi klub di belakangnya pasti juga berantakan. Untuk klub yang menggantungkan hidupnya dari industri sepak bola pasti tim manajemennya mengakui musim lalu adrenalin mereka meningkat. Meningkat cepat karena ketidakpastian. Lain cerita kalau klubnya memang tidak menggantungkan hidupnya dari industri ini, mungkin peristiwa musim lalu itu hanya dianggap angin lalu. Alias biasa saja.
Bisnis tentu membutuhkan kepastian. Karena dari kepastian akan datang pula (kepastian) pemasukan. Kalaupun tiba-tiba rugi, kerugian bisa didiagnosa lebih awal dengan menyebutnya sebagai salah strategi. Tentunya salah strategi ini akan diperbaiki di kemudian hari pada kesempatan tahun selanjutnya.
Kita sama-sama tahu bahwa produk utama dari industri sepak bola tentu saja adalah pertandingan. Pertandinganlah yang menggerakkan emosi jutaan pasang mata juga ekonomi turunan yang banyak sekali macamnya. Semuanya berputar dan dimulai dari sana.
Permasalahannya, di Indonesia seringkali jadwal sebagai salah satu komponen dari sebuah pertandingan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lebih seringnya berubah-ubah. Akibatnya ekosistem sepak bola dari hulu sampai hilir merasakan kerugiannya. Rugi waktu, rugi biaya, rugi semua-muanya.
Kerugian paling parah, terjadi akibat jadwal yang berubah-ubah ini dimana pada akhirnya lahir dugaan-dugaan juga asumsi-asumsi liar bahwa ini semua permainan belaka dari operator juga regulator untuk memenangkan atau memastikan suatu klub tertentu untuk juara atau agar supaya tidak terdegradasi. Kredibilitas mereka akan terus dipertanyakan juga dipertaruhkan. Meski faktanya, asumsi-asumsi ini lebih sering sulit untuk dibuktikan.
Mencoba berpikir positif, belajar dari pengalaman Persebaya selama mengadu kekuatan di kasta kedua maupun yang tertinggi ini akhirnya menghasilkan data yang menarik. Sejarah mencatat, problem jadwal yang terjadi di liga selalu datang dari problematika keamanan.
Mulai dari teror bom, persoalan pemilihan umum dan kepala daerah, unjuk rasa buruh nasional hingga buntut kerusuhan di stadion. Artinya permasalahan akan selalu berkutat pada stakeholder utama yang mengurusi keamanan, yaitu pihak kepolisian. Analisanya jika ada suatu kegiatan yang mampu memecah konsentrasi mereka, karena menyangkut jumlah massa yang besar maka akan sangat mungkin laga sepak bola akan ditunda atau diundur. Tentu kalau hal-hal seperti ini kecolongan, dapat mengganggu Indikator Kinerja Utama (IKU) mereka karena kepentingan keamanan masyarakat diatas segala-galanya.
Koordinasi dan Sinergi jadi Kunci
Untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja kembali terjadi lagi, masing-masing pihak mulai mengevaluasi diri mereka. Di strata paling atas, pihak operator mulai berani mengakui kekurangannya musim lalu dan mencoba memberi solusi dengan mengadakan pertemuan koordinasi dengan pihak kepolisian sebelum liga dimulai. Di strata bawah atau di lapangan, setelah berakhirnya Liga 1 musim lalu, klub melalui sang Presiden berani bersuara mengajak suporter untuk melakukan dukungan-dukungan yang positif untuk klub ke depan. Pangkal penyebabnya karena tanpa pertandingan dan atau pertandingan tanpa penonton pun tidak akan baik bagi keberlanjutan klub.
Koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan memang amat perlu dilakukan. Bisa dengan Polisi, bisa dengan suporter, bisa dengan TNI, bisa dengan pemerintah daerah, bisa dengan siapa saja pemangku kepentingan yang tepat untuk menggelar sebuah pertandingan. Evaluasi yang sudah dilakukan tentu bukan untuk menunjuk siapa salah dan siapa yang benar. Terlalu kekanakan kalau kelasnya masih seperti itu, tapi untuk saling menjaga. Menjaga dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi (lagi). Artinya, kepentingan klub diatas segala-galanya bukan? Bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir golongan saja.
Langkah-langkah preventif bisa saja sudah dilakukan namun tidak tertutup kemungkinan jadwal pertandingan kembali tidak berjalan sebagaimana yang sudah disepakati karena satu dan lain hal. Atau bisa juga klub harus merasakan tanpa dukungan penonton karena satu dan lain hal. Semua kemungkinan masih sangat terbuka. Tapi klub harus tetap berjalan kan? Karena di dalam sebuah klub bukan hanya pemain saja, tapi ada keluarga pemain, keluarga manajemen, keluarga pedagang asongan di sekitar stadion, keluarga pemilik warung-warung kopi yang mengambil rezeki dari menyediakan TV untuk nonton Persebaya bareng, dan keluarga-keluarga lainnya. Ekonomi keluarga tentu harus tetap berputar. Ada atau tidak ada pertandingan di stadion. Ini yang harus dicari jalan keluarnya.
Dari Kreativitas ke Ekonomi
Sudah dua kali Persebaya melakukan live streaming pertandingan mereka selepas musim 2019 selesai. Jika dipelajari dan didata betul, ini peluang besar. Tampilan dan suguhannya tidak kalah dari TV nasional. Lebih menarik lagi karena live streaming tersebut punya nilai lebih yang tidak dimiliki siapapun, yaitu bersinergi dengan salah satu SMK di Surabaya. Memperlihatkan kepada dunia bahwa anak-anak SMK ini mampu. Value Persebaya inilah yang tidak dimiliki oleh klub manapun di Indonesia saat ini (tolong koreksi jika saya salah).
Bicara soal keberhasilan live streaming maka akan bicara juga soal referee cam. Ide tersebut memang sedikit terkesan biasa saja (bukan sebuah ide baru karena sudah diaplikasikan di olahraga yang lain) namun solutif bagi perkembangan sepak bola tanah air dan yang terpenting tetap bisa jadi pundi-pundi ekonomi untuk klub. Konten referee cam pada akhirnya ditunggu publik dan diklik untuk mencari tahu isinya. Termasuk oleh penulis.
Ekonomi kreatif memang butuh ide-ide baru. Begitupula Liga Indonesia. Tentunya ide-ide baru yang solutif agar industri sepak bola yang masih sangat hijau ini dapat terus berkembang ke arah yang lebih baik.
Keberhasilan live streaming dan konten referee cam memperlihatkan bagaimana roda ekonomi dari internet bisa digenjot menuju maksimal. Penulis saat ini tidak mengetahui berapa puluh ribu jumlah pasti anggota Persebaya Selamanya (PS) yang terdata dan berapa jumlah penikmat sepak bola Indonesia dan Persebaya Surabaya di luar sana. Tentu menurut hitung-hitungan asal penulis angkanya pasti lebih banyak ketimbang anggota Persebaya Selamanya.
Suporter dunia maya yang tak terhitung jumlahnya ini perlu digarap maksimal oleh Persebaya, karena peluangnya ada dan terbuka lebar. Keberhasilan live streaming dan konten referee cam serta iklan sponsor klub yang sukses diputar berulang kali membukakan mata penulis bahwa peluang Persebaya untuk membuat streaming over-the-top (OTT) sudah tinggal disegerakan saja.
Bagi yang tidak tahu apa itu OTT, ia adalah konten video yang didistribusikan kepada penikmat atau penontonnya melalui jaringan internet dan diharuskan untuk subscribe. Biasanya lewat suatu platform seperti Netflix, Amazon Prime, ESPN+, Disney+, NFL Game Pass dan lain-lainnya. Kalau di Indonesia, OTT saat ini seperti Vidio, Mola TV, atau RCTI+ misalnya. Tapi bisa juga dengan menggunakan platform milik klub sendiri (apps).
Bicara sedikit lebih jauh, biasanya akan ada yang tidak terima jika harus berbayar. Hal ini lumrah. Tapi rasanya kalau hal itu (OTT) sampai benar terjadi di Persebaya maka akan selalu ada solusinya. Sebagai contoh kecil saja, bagaimana lisensi terkait jual beli merchandise Persebaya non-original pun sampai saat ini masih berjalan dengan baik. Persebaya dengan pasar mereka pun sama halnya dengan para pedagang di luar sana juga dengan pasar mereka sendiri. Kembali lagi, mereka hanya tinggal adu kreativitas saja dan penulis melihat manajemen Persebaya tidak mematikan hal ini kepada para pedagang di luar sana (sampai 3 tahun ini).
Konten yang dibuat oleh Persebaya memang sudah cukup dekat dengan kehidupan kita sehari-hari juga kehidupan sebagai seorang pemain. Yang menuntut mereka untuk berlatih, fisik (gym) dan lain-lainnya. Maupun main Play Station, tebak-tebakan atau sekedar jalan-jalan dan kulineran supaya mentalnya seimbang dan juga sehat. Sebagai contoh, penulis sangat suka sekali dengan konten Ricky Kambuaya dan Patrich Wanggai yang sangat natural, jenius dan sedikit komedi. Sehingga kita bisa lihat sisi lain seorang Patrich misalnya yang menurut penulis cocok jadi aktor karena pintar. Mungkin perlu ada segmen khusus untuknya di masa depan.
Persebaya sebagai klub memang perlu beradaptasi dengan ekosistem industrinya yang saat ini masih belum memberikan kepastian seratus persen bagi usaha dan modal yang mereka tanam. Tapi dengan kreativitas, menurut penulis problem itu lambat laun akan menjadi hal lalu bagi Persebaya.
Menaikkan standar industri sepak bola nasional beberapa kali lagi, bukanlah hal baru dan juga susah bagi Persebaya. Ini saatnya Persebaya dan juga suporter mereka, Bonek-Bonita memakai pemikiran kritisnya untuk menjawab tantangan-tantangan ekosistem yang masih ada dengan cara yang positif dan berkelas. Karena pada hakikatnya, dengan nilai-nilai dan pengalaman yang dimiliki Persebaya dan suporternya, apapun tantangan yang ada di depan mata sudah selayaknya bisa beradaptasi dengan kondisi ketidakpastian itu.
Akhir kata mari perbanyak kreatifitas (bisa dalam bentuk konten dan lain-lain) sehingga roda ekonomi dalam ekosistem ini dapat berjalan dengan baik dan industri sepak bola Indonesia perlahan bisa berkembang dan tumbuh dengan baik di masa depan. Jangan sampai terlambat, karena terlambat sedikit kalian tidak akan mendapatkan manfaat maksimal dari masih hijaunya industri ini sekarang. Segerakan!
*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]