Perhelatan Piala Gubernur Jatim tahun ini merupakan kompetisi pramusim yang sungguh greget. Bagaimana tidak? Sedari awal saja para klub kontestan di-press tenaganya yang jeda waktu istirahat hanya 2 hari. Ini sungguh riskan terhadap pemain profesional sekalipun. Di sisi lain piala pramusim ini hanya diikuti oleh beberapa klub Jawa Timur. Bahkan sangking sakleknya sampe mengundang klub dari Ibu Kota dan salah satu klub Malaysia, yakni Sabah FA.
Pertandingan dengan itensitas yang tinggi diperlihatkan sejak pertama piala ini digulirkan, benar saja karena ada dua kubu dan dua kelompok suporter yang sedang tak akur. Semifinal yang seharusnya dihadiri oleh penonton pun tak jadi diselenggarakan karena adanya ketidakakuran Bonek dan Aremania. Karena kedua kubu saling membanggakan klubnya masing-masing dan tidak mau kalah dalam hal apapun.
Tapi keberhasilan Persebaya meraih tiket ke babak final pun ternodai karena adanya bentrok kedua kubu, yang notabene basis suporter yang militan dan loyal terhadap klub nya masing-masing. Sekilas bentrokan pun terjadi di titik-titik di sekitaran stadion tempat di mana pertandingan berlangsung.
Apa sebernanya motif turnament ini dihelat, jika dalam perjalanannya terjadi bentrok antar suporter? Oya, sebelum dimulainya piala ini, ada nota kesepakatan antar suporter di Jawa Timur untuk tetap menjaga kondusifitas masing-masing. Ah itu cuma formalitas saja, mereka yang di sana, apa tahu keadaan yang sebenarnya di lapangan?
Sebenarnya piala gubernur ini untuk siapa? Kok warga sesama Jatim tambah saling bentrok dan saling “memburu” satu sama lain. Lantas jika ada korban jiwa dan harta benda yang ikut jadi korban kekerasan ini, siapa yang patut disalahkan? Suporter? Apa Panitia?
Ah saya skeptis kalo panitia punya tanggung jawab nantinya. Paling gak jauh-jauh, yang disalahkan tetap suporter dengan framing “Sudah dihimbau tak boleh datang kok datang”. Pak? Buk? Lah sampeyan iki urip nang Jatim uwes pirang taun kok sek dorong paham ae kultur bal-balan nang Jatim?
Bu Gubernur dan Pak Asprov Jatim yang terhormat dan tidak ketinggalan PSSI. Kalianlah yang membuat kita semua terpecah dan menjadikan salah satu pihak suporter jadi kambing hitamnya. Kalian akan selalu kami kenang untuk jadi panitia yang GAGAL dalam menjalankan Panitia Piala Gubernur. Jare koncoku “Panitia kelas kartar 17-an”.
Tidak ada yang lebih berharga ketimbang nyawa seseorang ketimbang ketenaran selepas selesainya Piala Gubernur Jatim yang amburadul ini.
Salam Satu Nyali. Wani!