Rabu, 7 September 2016, tepat 12 tahun seseorang yang paling berjasa dalam penegakan HAM di negeri ini sengaja dihilangkan nyawanya. Ketika sebagian kecil masyarakat di Indonesia masih belum lupa akan peristiwa keji tersebut, mereka memilih melawan dengan melakukan aksi kecil-kecilan di berbagai kota di Indonesia.
Di salah satu kota di Jawa Timur, tepatnya di Bangkalan, Madura, ada puluhan remaja yang sedang berjuang mengejar mimpinya melalui sepak bola. Ya, sepak bola. Olah raga terpopuler yang akhir-akhir ini mendapat kesan negatif dari masyarakat. Karut marut kompetisi, nihil prestasi, hingga penghilangan paksa beberapa klub sepak bola oleh federasi, seakan menjadi potret muram wajah persepakbolaan negeri ini.
Dari beberapa klub yang sengaja dihilangkan atau dihapus PSSI, ada satu klub yang mempunyai sejarah cukup panjang. Klub yang menjadi kebanggaan masyarakat kota pahlawan, yaitu Persebaya Surabaya. Setelah 6 tahun Persebaya dihilangkan PSSI, Rabu, 7 September 2016, melalui klub juniornya, Persebaya berhasil menembus laga Perempat Final Liga Pelajar U16 yang digelar Kemenpora.
Saya, sebagai Bonek tentu merasa bangga atas pencapaian mereka. Mengingat jalan terjal yang harus dilewati Bonek dalam perjuangannya mengembalikan Persebaya agar dapat kembali berlaga di kancah persepakbolaan tanah air. Saya pun memutuskan untuk ikut mendukung Persebaya U16 bertanding di Stadion Gelora Bangkalan.
Sekitar pukul 2 siang, saya berangkat dari kampus saya yang berlokasi di daerah Sukolilo, Surabaya. Saya meninggalkan satu mata kuliah yang sebenarnya masih tersisa di hari itu. Urusan absen, sudah ada kawan yang bersedia mengurusnya.
Dalam perjalanan menuju kota yang berada di pulau penghasil garam itu, saya menjumpai rombongan Bonek yang juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengawal tim Persebaya U16 bertanding. Saya pun harus melewati Jembatan Suramadu yang saat itu diterjang angin laut cukup kuat ketika berkendara di atasnya. Seolah mengingatkan saya atas perjuangan penuh terjangan dari berbagai pihak.
Sampai di stadion sekitar pukul setengah 4 sore, sudah ada ratusan bonek bergerombol di luar stadion. Setelah memarkir kendaraan, saya langsung masuk ke dalam stadion dan ikut bergabung dengan Bonek yang sudah memenuhi tribun VIP. Saya duduk tak jauh dari rombongan orang tua para pemain Persebaya yang ikut memberikan suntikan semangat kepada anak-anak mereka.
Peluit ditiup wasit, tanda pertandingan di dimulai. Bonek mulai berdiri. “Tunjukkan pada semua, mata dunia, Surabaya pun juga punya kebanggaan, Green Force Persebaya emosi jiwaku”. Lagu “Persebaya Emosi Jiwaku” berkumandang. Lirik dalam lagu tersebut, seakan menegaskan bahwa Persebaya tak pernah mati, hanya kehilangan raga. Jiwanya selalu di sini, di dalam raga Bonek.
Melalui kaki-kaki para remaja itu, nama besar Persebaya kembali dipertaruhkan. Kaki-kaki yang masih belum merasakan “rumput berduri” persepakbolaan tanah air. Kaki-kaki yang masih bisa berlari lepas tanpa beban. Mereka bermain sepak bola tak jauh berbeda dengan gaya permainan para pendahulunya. Ngeyel! Meski tak banyak waktu istirahat yang mereka dapat. Mereka bermain dari hati untuk mengejar prestasi, bukan hanya materi.
Setelah peluit panjang dibunyikan, kemenangan akhirnya mereka dapat. Mereka saling berpelukan merayakan kemenangan itu. Setelahnya, mereka menuju tribun Bonek. Berbaris sejajar rapi sambil bergandengan tangan. Dengan dipandu dirijen/capo, mereka menyanyikan lagu-lagu yang sering digunakan Bonek membakar semangat pemain Persebaya saat bertanding.
Bersama dengan Bonek sore itu, mereka larut dalam kebahagiaan. Kebahagiaan yang selama ini sempat dirampas PSSI. Kebahagiaan yang sebenarnya layak mereka dapatkan. Setelah berbicara ngalor-ngidul dengan rekan sesama Bonek, saya meninggalkan stadion dengan perasaan bangga dan cukup puas melihat performa bibit-bibit muda Persebaya.
Sepulang menonton, saya kembali mendapat kabar sangat menggembirakan. Malam itu, melalui rapat Exco PSSI, akhirnya Persebaya kembali diakui keanggotaannya oleh PSSI. Dan dapat kembali berlaga di kompetisi musim depan.
Hari yang istimewa. Di hari kematian Munir 12 tahun lalu, Persebaya akhirnya bisa bangkit. Langit sepak bola di Surabaya kembali cerah. Mungkin, di atas sana, Cak Munir ikut tersenyum melihat ketidakadilan yang terjadi di negeri ini berhasil ditegakkan. Kesewenang-wenangan berhasil dipenjarakan oleh perjuangan tak kenal lelah dan kegigihan Bonek. Persebaya tak hilang, Persebaya ada di jiwa para pecintanya.
Atas kemenangan tersebut, Persebaya berhasil melaju ke semifinal yang digelar hanya satu hari setelah pertandingan. Benar-benar turnamen yang melelahkan, batin saya. Pertandingan digelar di tempat yang sama, namun kali ini saya tidak dapat menonton langsung karena ada urusan yang tidak dapat ditinggal. Di Semifinal, Persebaya berhadapan dengan wakil ibukota, Blue Eagle. Persebaya kembali menang, tiket final berhasil didapatkan.
Pertandingan Final
Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan, ditambah lagi dengan jadwal turnamen yang cukup padat bagi pemain seusia mereka, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Jumat (9/9), Persebaya U16 menghadapi Diklat Persib di final. Kali ini pertandingan digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo (GDS).
Saya pun kembali memutuskan untuk mendukung persebaya U16. Kali ini saya tak perlu kucing-kucingan dengan dosen, karena kebetulan kuliah saya hari itu hanya sampai jam 2 siang. Singkat cerita, pukul 4 sore saya baru sampai di GDS. Kondisi sudah sangat ramai dan beredar kabar kick-off babak pertama sudah dimulai. Hanya satu pintu stadion yang dibuka panpel. Padahal ribuan bonek sudah berjubel di luar stadion.
Dengan sangat terpaksa, saya ikut masuk ke dalam antrian, berhimpit-himpitan, panas, sesak nafas. Itulah gambaran kondisi saat itu. Akhirnya, saya berhasil masuk ke stadion. Benar saja, pertandingan sudah dimulai, dan Persebaya tertinggal dua gol.
Ada pemandangan tak biasa di sini. Di saat klub kebanggaannya kemasukan dua gol, Bonek yang selama ini dicap brutal tak menunjukkan reaksi berlebihan. Nyanyian-nyanyian dukungan terus diberikan kepada Bajul Ijo. Flare dinyalakan dari berbagai sudut tribun. Saya cukup menikmati suasana sore itu. Di pinggir lapangan, ada barisan ibu-ibu yang dipersiapkan panitia untuk melakukan pertunjukkan pada jeda babak pertama. Ibu-ibu itupun terlihat cukup antusias. Mereka ikut menari diiringi tabuhan drum dari tribun Bonek.
Pertandingan selesai, saya lupa skor akhirnya
Meski kalah, tak banyak raut kekecewaan dari wajah para pemain Persebaya maupun Bonek. Lolos ke final adalah pencapaian luar biasa. Mereka sudah berjuang sampai sejauh ini. Dukungan Bonek selama turnamen pun luar biasa. Masa depan para pemain masih sangat panjang, walaupun kelak, entah mereka masih tetap bertahan di Persebaya atau bahkan bisa berkembang menjadi pemain besar yang dikontrak klub-klub top asia ataupun eropa.
Namun yang pasti, sore itu mereka menunjukkan bahwa Persebaya (masih) ada dan berlipat ganda.