Awas, Persebaya itu Menular!

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

“Apa yang tidak dimiliki Persebaya Surabaya?” Sebuah pertanyaan retoris yang sulit dijawab. Persebaya punya semua yang layak membuatnya jadi tim besar: fanatisme suporter, stadion megah (meskipun masih milik pemerintah), pemain papan atas, manajemen klub yang baik, pemilik klub yang paham sepak bola, hingga cerita dan tradisi juara yang memenuhi rak piala.

Persebaya adalah gaya hidup, bukan lagi sekedar klub sepak bola. Persebaya adalah representasi sempurna bagi Surabaya. Mentalitas khas yang ngeyel dan tidak mau kalah, dipadukan dengan tuntutan permainan menghibur suporter. Tentu saja, kombinasi ini melahirkan kultur dalam Surabaya secara umum.

Melihat dari kacamata sosiologi, ada sebuah teori yang bernama, interaksionisme simbolik. Artinya, manusia selalu punya banyak sudut pandang terkait bagaimana kapasitas manusia itu berbeda-beda, dan menghasilkan sebuah makna yang berbeda dengan sebuah sistem yang simbolik. Dalam hal ini Persebaya adalah sebuah simbol bagaimana sebuah klub sepak bola adalah penggerak interaksi sosial yang meluas di Surabaya.

Interaksi ini, menghasilkan banyak produk mulai dari fanatisme, apatisme hingga perasaan senasib bersama diantara supporter dan pemilik klub. Interaksi ini kemudian menyebar luas dalam berbagai elemen masyarakat, dalam hal ini Persebaya menjangkau semua elemen masyarakat Surabaya.

Iklan

Mudahnya, Persebaya sudah menjadi bagian dari masyrakat Surabaya. Gaya hidup ini kemudian menyebar dan menular dan tanpa sadar sudah menjadi sebua elemen kuat dalam menggambarkan Surabaya.

Penularan gaya hidup Persebaya ini, kemudian menjadi api pemantik dari banyak pergerakan ataupun interaksi lain. Ketika Persebaya kalah, suporter gondok, masuk ke lapangan, melakukan tindakan merugikan, tetapi suporter pulalah yang mengembalikan Persebaya ke trahnya sebagai klub papan atas Indonesia. Tidak akan ada yang lupa bagaimana Rapat PSSI pada tahun 2016, mengembalikan status Persebaya sebagai klub profesional.

Tidak lepas dari itu, fanatisme Persebaya juga sudah menjadi kultur sosial di masyarakat Surabaya. Masih teringat di ajang Asean Basketball League (ABL) di mana CLS Knights Surabaya mewakili Indonesia dan lolos ke babak 8 besar. Riuh gor Kertajaya penuh dengan chants dan yel-yel yang jamak kita dengar di laga persebaya. Mulai dari Saigon Heat, Mono Vampire hingga Singapore Slingers, merasakan betapa kerasnya suara suporter CLS mendukung tim mereka. Semangat dukungan khas Bonek, sukses membuat pengar lawan, sekali lagi, Persebaya menjadi elemen penting dari keberhasilan CLS Knights meraih juara ABL dua musim lalu

Persebaya itu menular, semangat, gairah, kegelisahan hingga elemen lain, tanpa sadar sudah mewabah di Surabaya sejak lama. Saya tumbuh di keluarga asal Surabaya, masih ingat ketika Persebaya masuk ke babak 8 Besar Liga 2 2017, Bapak mengambil cuti dan memaksa anak-anaknya menonton Persebaya di rumah. Ini secara tidak sadar adalah fanatisme yang kemudian menular secara turun-temurun. Terbukti, dengan sendirinya saya yang hanya ke Surabaya ketika Lebaran, nyaris tidak melewatkan pertandingan Persebaya dalam 3 musim terakhir.

Maka sepatutnya, Persebaya harus mengadopsi semboyan Barcelona ‘lebih dari sekedar klub’. Karena tanpa disadari Persebaya lebih besar dari klub, dan seharusnya sudah tidak ada lagi sengketa antara pemerintah dan klub.

Selain itu, Bonek tentu juga dituntut semakin dewasa. Bonek sudah tidak boleh lagi disinonimkan dengan kekerasan ataupun tindak kriminal. Bonek adalah produk interaksi terbaik antara Persebaya dengan warga Surabaya. Dan memang, Bonek sudah tidak lagi dipandang sebelah mata, mereka selain menjadi motor penggerak bagi Persebaya, juga menjadi elemen penting dari Surabaya.

Akhirnya, Persebaya Surabaya akan terus menular, meluas dan juga jamak di Indonesia. Semoga dengan makin menularnya Persebaya di era modern ini, semoga mereka tidak melupakan bahwa Persebaya tetap berakar kuat terhadap sebuah kota besar dengan sejarah heroik: Surabaya. (*)

*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display