EJ – Bukan kali pertama Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala AFF. Terhitung sejak 1996, Indonesia sudah tiga kali didaulat sebagai tuan rumah. Pertama, pada 2002 bersama Singapura, 2008 bersama Thailand, dan 2010 bersama Vietnam. Bahkan, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Piala Asia 2007. Belum lagi event-event pertandingan sepak bola single match.
Sayangnya, pengalaman-pengalaman itu semua tak pernah dijadikan pengalaman untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan. Terbukti, untuk menjadi tuan rumah semifinal pertama Piala AFF 2016 antara Indonesia melawan Vietnam di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Sabtu 3 Desember 2016, terjadi banyak kekacauan. Utamanya, dalam teknis dan distribusi penjualan tiket.
Banyak suporter yang kecewa karena tak jelasnya mekanisme penjualan tiket. Dimulai dari kebijakan yang dikeluarkan AFF bahwa penjualan tiket harus dilaksanakan secara online untuk transparansi. Kiostix yang dijadikan patner tak mampu bekerja dengan baik. Tingginya, permintaan membuat web mereka down beberapa kali.
Karena bermasalah muncul kebijakan penjualan tiket offline. Sayangnya, ini juga tak mampu dilakukan dengan baik dan benar. PSSI yang mengumumkan penjualan tiket offline bisa dilakukan di Stadion Pakansari, tiba-tiba membatalkan karena tak siap. Padahal, sudah banyak suporter yang antre di Stadion yang berada di Cibinong tersebut. Penjualan tiket offline di kawasan Stadion Gelora Utama Bung Karno (SUGBK) juga tak efektif. Baru dua jam, tiket sudah ludes. Padahal, masih banyak yang antre untuk membeli.
Berdasarkan hasil investigasi Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Save Our Soccer (SOS) di lapangan banyak kejanggalan yang terjadi dalam teknis penjualan dan distribusi tiket. Ada sejumlah tiket yang sengaja ditahan. Ada pula tiket yang diborong bahkan diberikan kepada sejumlah calo. “Ini penyakit lama yang sudah menginfeksi dan harus segera dicarikan obat penyembuhnya,” kata Akmal Marhali, Koordinator SOS. “Ada pihak-pihak yang mencoba mengeruk keuntungan di tengah tingginya animo suporter untuk menyaksikan pertandingan timnas. Ini harus diinvestigasi. Ketua Umum PSSI, Letjen Edy Rahmayadi, harus menindaktegas oknum-oknum yang mempermainkan perasaan suporter,” Akmal menegaskan.
Ada kebiasaan buruk di PSSI yang harus segera direformasi terkait penjualan tiket pertandingan. Dari pengalaman event-event sebelumnya SOS mendapatkan info dan data bahwa ada sejumlah pengurus serta karyawan PSSI yang “bermain”. Ada kuota-kuota tertentu yang penjualannya menjadi jatah “pejabat teras” melalui oknum karyawan-karyawan PSSI. Bahkan, dulu ada praktek penjualan tiket (asli) yang tidak melalui porporasi dispenda. Contoh, final Piala AFF 2010 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Jumlah penonton melebihi jumlah tiket yang dijual. Ketersediaan tiket hanya 80 ribu, tapi penonton mencapai 120 ribu orang.
“Mumpung, pengurus PSSI di bawah komando Letjen Edy Rahmayadi masih baru dan belum dibentuk pengurus lengkap sejatinya masalah ini bisa ditelusuri. Kini, hanya ada 15 personel (Ketua Umum, dua Wakil Ketua Umum, 13 anggota exco), plus Sekjen dan Ketua Panpel. Sangat mudah mengurai masalahnya. Tinggal Ketua Umum membentuk tim investigasi untuk menemukan sumber penyakitnya,” kata Akmal. “Ini momen buat Ketua Umum untuk menunjukkan kekuatannya mereformasi PSSI dari kebiasaan lama yang sangat buruk,” Akmal menambahkan.
Selain mengurai masalah buruknya pengelolaan tiket, transparansi soal penjualan tiket Timnas juga harus dilakukan. Ini terkait dengan potensi pendapatan maksimal yang bisa diperoleh PSSI dari laga Indonesia vs Vietnam yang mencapai Rp 3,35 miliar. Berdasarkan data yang diperoleh Litbang SOS Stadion Pakansari berkapasitas 30.000 penonton dan PSSI melepas tiket dengan jumlah serupa.
Rinciannya Kategori I dengan harga Rp 300.000 dilepas 1.500 tiket. Ketegori II yang dihargai Rp 200.000 berkuota 4.000 lembar tiket dan Kategori III dengan harga Rp 100.000 dicetak 21.000 tiket. Total 26.500 tiket yang diperjualbelikan dan kalo ditotal bernilai Rp 3,35 miliar. Sisanya, 500 tiket untuk suporter Vietnam dan 3000 tiket berstatus compliment untuk relasi, sponsor, dan undangan yang punya hubungan dengan PSSI.
“Berdasarkan aturan, panpel harus mengumumkan jumlah tiket terjual secara terbuka saat pertandingan memasuki menit ke-65. Dari sini bisa dirinci berapa pendapatan yang diperoleh PSSI. Bila ternyata jumlah tiket terjual tidak sama dengan pendapatan berarti ada kebocoran di dalamnya. Transparansi keuangan sangat penting karena ini juga yang sedang dikampanyekan FIFA, AFC, dan AFF untuk sebuah pertandingan,” kata Akmal. “Apakah sepak bola Indonesia (baca: PSSI) benar-benar berubah di era kepemimpinan Edy Rahmayadi salah satunya bisa dilihat dari kebijakan transparansi penjualan tiket. Mereka yang mencoba “bermain” harus ditindak tegas. Ini untuk sepak bola Indonesia yang lebih baik,” Akmal mengungkapkan. (*)