Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat

Protes Bonek soal jadwal Liga 2 di Jalan Raya Darmo. (Foto: Bimbim/EJ)
Iklan

Salam nada sumbang keadilan teruntuk anda sekalian, PSSI

PSSI apa kabar? Teriring doa semoga federasi bersejarah itu senantiasa dalam keadaan kuat meski sedang tak sehat. Pengurus PSSI masih sadar? Tentu janji komitmen di awal kenaikan roda kepengurusan baru masih ingat bukan?. Jikalau sudah agak amnesia, mari izinkan kami mengingatkannya lewat beberapa paragraf tulisan. Tidak ada niatan untuk melakukan perang denganmu, sebab hakikat perang adalah klaim kebenaran berdasar sentimen klan atau golongan. Akan tetapi latar belakang penulisan surat ini adalah kegelisahan yang dirasakan oleh seluruh lapisan suporter, utamanya Liga 2, meski kami tak pernah melakukan polling juga. Kami meyakini hal itu dikarenakan pada hakikatnya logika suporter adalah sama, yakni butuh (bukan ingin) akan keadilan dan kebijaksanaan, entah itu regulasi dari birokrasi atau sekedar iklim hubungan antar komponen di klub yang digeluti.

Kami tak perlu memberi data terkait tingkat kepuasan suporter terhadap kinerja kalian, sebab ini bukan tulisan yang hilang setelah dibaca. Pun juga tulisan ini bukan seperti skripsi dengan judul “Tingkat Kepuasan Penonton terhadap Kinerja Penyelenggara”. Oleh karena itu, kami justru akan lebih banyak memberi bukti bahwa regulasi kalian, terutama pembatasan usia dan jadwal laga di hari padat agenda sungguh tertolak dalam berbagai domain, baik kajian akademik-senjata kalian- maupun birokratik-watak kalian-.

Sebelum lebih jauh mencatatkan angin protes lewat tulisan ini, kami ingin menjelaskan kepada anda sekalian terkait judul tulisan atas diksi ‘Terhujat’ dan ‘Sehat’. Pertama, sungguh pun kami menutupi diri agar tampak sopan dan berbudi di depan anda sekalian, tetap saja pukulan sebab ketidakadilan yang dirasakan suporter akan menerobos ke telinga kalian. Bahwa setiap mulut suporter saat ini tak lebih dari memantrakan hujatan akibat kepongahan kalian sebagai penguasa federasi. Bahwa setiap dada para suporter adalah emosi yang suatu saat pastilah akan memaksa tangan untuk meninju akibat ketidakseronohnya perlakuan kalian sebagai raja segala aturan sepak bola Indonesia.

Iklan

Kedua, kalau pun kami berkata kalian ‘sudah adil’ dan ‘sehat’, maka bukankah justru akan memperpanjang barisan kebohongan dan penyakit yang mematikan: kepalsuan. Dan sejujurnya kami diajarkan tidak untuk demikian. Bahwa Indonesia berkumpul banyak orang pintar, tetapi betapa miskinnya Indonesia ini dari orang sehat mental: kejujuran. Maka dengan tegas sebagai murid yang sadar akan krisis itu, kami berkata: bahwa kemelut yang sedang terjadi di dunia sepak bola kita saat ini dianggap-dan harus diakui- merupakan lanjutan dari tingkah laku agresif kalian.

Ketidak turunnya kalian ke berbagai komponen sepak bola adalah bukti dari menjulang tingginya leher dan kepala. Terutama suporter yang senantiasa kalian anggap suaranya laksana teriakan kambing di padang pasir seperti puisi penyair menganalogikan. Kalian tak pernah menyadari bahwa dengan pembiaran terhadap suara dari basis suporter itu telah menandakan betapa bodoh dan dungunya kalian sebagai pemegang kebijakan. Secara akademik, bukankah teori public policy (pengambilan kebijakan) dalam sistem ala David Easton membahas tentang adanya demand (tuntutan). Jika kalian betul-betul pintar, tentu kalian memahami teori demikian, dan otomatis tidak akan pernah berbuat tuli di depan suporter. Sayangnya, kalau toh ternyata kalian memahami teori itu, tetap saja ketidakjujuran telah membuat kalian tampak bodoh dan membodohkan.

Secara birokratik, bukankah ada dalam tradisi kekuasaan Indonesia suatu adagium-yang mudahnya secara istilah-, yakni ‘Raja yang bertelinga rakyat’. Kami berharap kalian tidak lupa dengan ajaran luhur kepemimpinan itu. Kami berdoa semoga identitas kalian sebagai orang Indonesia tidak hilang hanya karena federasi kalian berpusat di Eropa sana. Semoga masih ada cerita tentang Hayam Wuruk yang didatangi para rakyatnya dengan didampingi pengawal berwajah ceria. Pun semoga catatan sejarah berdirinya PSSI di tahun 1930 sebagai wadah untuk melawan watak kolonial di sepak bola tidak hanya menjadi pajangan belaka. Jika ternyata-dan tampaknya sudah berlaku- berbagai sikap pendahulu kalian telah terlupakan, maka sungguh kami tidak heran dengan bobroknya birokrasi PSSI kini. Tetapi biarlah semangat pendahulu itu kami ambil dan jadikan tangan untuk menampar mulut sumbing kalian, semoga sehat kembali.

Terkhusus kepada Pak Edy, anda dulu berlagak seperti tokoh yang dalam teori kepemimpinan disebut ‘inisiatif transisional’, yakni pemimpin yang berlaku tak lazim dibanding sebelum-sebelumnya demi memperkuat basis rakyat-dalam hal sepakbola: suporter-. Kami mengapresiasi, karena kami sadar bahwa sebelum bapak, betapa bejatnya kepemimpinan di PSSI. Tetapi itu tak bertahan lama. Seketika kami mulai meragukan konsistensi bapak dalam domain penguasa sepak bola Indonesia. Terbaru saja, bapak bersama dengan manajer liga 2 membuat regulasi yang bukan malah merangkul pendapat dan keadaan yang jelas masuk akal jika dijadikan pertimbangan, yakni kesibukan sekaligus loyalitas kemanusiaan kepada ‘ tim kebanggaan’ yang pastinya bermanfaat buat keberlangsungan liga 2, melainkan regulasi itu justru tuli sebelah dengan hanya mendengarkan media.

Hujatan sudah banyak yang disematkan ke bapak, dan itu semua haruslah menjadi bahan evaluasi. Tidak ada yang terlambat, jika memang bapak masih mengakui kata penulis ‘Aksi Massa’, bahwa ‘daulat rakyat’ (aksi massa suporter) mampu meruntuhkan ‘kekuasaan’ (baca: keangkuhan penguasa bola Indonesia). Tetapi jikalau bapak lebih menghamba pada media, kami yakin bahwa ucapan bapak di awal hanyalah ilusi yang akan melahirkan resistensi. Kami tidak bermaksud mengancam, tetapi mencoba rasional sebab harus diakui kekuatan yang bersumber dari i’tikad (keyakinan) suporter sunggulah besar, bahkan miriam pun tak akan bisa menghancurkan-sebagaimana isi paparan pahlawan KH. A. Wahid Hasyim-.

Akhirnya, lewat nasehat suci dari Bapak Koperasi Republik Indonesia surat ini kami akhiri, semoga anda sekalian membaca dengan telinga: Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki. (*)

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display