Persebaya lebih besar dari yang kau kira. Kalimat ini tidak asing di kalangan Bonek yang menandakan jika Persebaya adalah klub besar meski tanpa dikoar-koarkan. Persebaya memiliki sejarah panjang di kancah persepakbolaan nasional dengan prestasi yang mentereng. Semua tahu itu.
Mantan manajer Persebaya H Agil H Ali memiliki filosofi “Low Profile High Product” saat menangani Green Force. Filosofi yang ditanamkan kepada para pemain sehingga membawa Persebaya juara Perserikatan 1988. Filosofi ini tidak hanya diterapkan kepada internal Persebaya namun juga kepada klub-klub lawan.
Pernah suatu ketika, Persebaya melawat ke Makassar untuk melawan tuan rumah PSM, Abah Agil merencanakan kegiatan di luar sepak bola untuk para pemain. Para pemain yang datang empat hari sebelum bertanding melakukan kegiatan sosial seperti mengunjungi panti asuhan sekolah dan makam legenda PSM, Ramang. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan hal baru kala itu. Masyarakat setempat pun kaget karena banyak kegiatan janggal yang dilakukan pemain Persebaya.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Dengan kostum nyeleneh kuning biru, Persebaya menakhlukkan PSM dua gol tanpa balas. Selama berpuluh-puluh tahun tidak pernah menang di Stadion Mattoangin, hari itu Persebaya membawa pulang tiga poin. Para pemain diarak dari Bandara Juanda ke Mess Persebaya seakan telah menjadi juara.
Sebuah kisah manis di era lampau, seharusnya bisa dijadikan pelajaran bagi pelatih atau manajer Persebaya sekarang. Sudah saatnya Persebaya memberi respek kepada klub lawan meski yang dihadapi berasal dari daerah dengan prestasi yang minim. Dengan menaruh respek, Persebaya akan disegani. Tak perlu merendahkan calon lawan dengan kalimat-kalimat yang berpotensi menimbulkan kontroversial.
Pelatih Persebaya Iwan Setiawan pasti tidak bermaksud menghina Madiun Putra sebagai tim kampungan jelang pertemuan kedua kesebelasan beberapa waktu lalu. Ia hanya menilai permainan Madiun Putra dengan melabelinya dengan permainan sepak bola kampung. Namun Iwan mesti ingat jika kata-kata itu bisa dipersepsikan berbeda. Terbukti kemudian orang menganggap Iwan menyebut Madiun Putra sebagai tim kampungan. Iwan dianggap menghina.
Pelajaran yang bisa dipetik Iwan adalah jangan mengumbar pernyataan yang bisa memicu kegaduhan.
Bonek tidak butuh kata-kata tinggi. Hanya bukti yang diinginkan. Lewat permainan yang apik dan penuh semangat, Bonek akan mendukung Persebaya dengan sepenuh hati. Bonek akan berbondong-bondong datang ke stadion jika permainan Persebaya atraktif dan menghibur.
Untuk itu, buatlah Persebaya disegani sekaligus ditakuti lawan-lawannya meski tidak dibumbui dengan psywar-psywar yang merendahkan lawan. Buatlah pemain lawan takut saat memasuki lapangan Stadion GBT di antara puluhan ribu Bonek yang datang. Dengan begitu, Persebaya akan “menang” sebelum bertanding.
Persebaya era The Dream Team saat juara 1997 membuktikan jika musuh akan takut duluan bahkan sebelum bertanding. Persebaya yang diperkuat trio pemain asing, Jacksen F Tiago, Carlos de Melo, dan Justino Pinheiro pernah menggelontor gawang Persijatim dengan sembilan gol tanpa balas di Stadion Gelora 10 November. Begitu juga Persikab (7-0), Persija (4-2), bahkan Arema (6-1). Di era ini, Persebaya yang diarsiteki Rusdy Bahalwan sering menang dengan margin besar. Tak hanya di kandang namun juga di kandang lawan. Bisakah kau buat Persebaya seperti era itu, Wan?
Kompetisi Liga 2 sangat berat. Jangankan untuk promosi ke Liga 1, untuk bertahan di kasta ini rasanya butuh perjuangan yang sangat keras. Dengan kondisi ini, prinsip rendah hati namun berkualitas tinggi rasanya bisa diterapkan. Dan sepertinya wajib. Para pemain harus ditanamkan mental sebagai arek Suroboyo. Mental pemenang yang terus berjuang hingga titik darah penghabisan.
Tahan psywar-psywar-mu. Sudah saatnya kau belajar dari pendahulu-pendahulumu, Wan! (*)
Salam Redaksi