Dalam bahasa sansekerta, puasa terdiri dari kata upa dan wasa yang bisa disimpulkan memiliki arti sebagai satu giat upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika masuk ke dalam segi manusia, puasa adalah serangkaian proses untuk mempertebal pertahanan diri dari segala sesuatu yang berdampak tidak baik bagi tubuh. Tapi boleh ya saya simpulkan sendiri secara garis besar bahwa puasa adalah proses.
Tentu tidak ada yang tidak berpuasa di alam semesta ini. Jangan engkau fikir hanya manusia saja yang mendapat “perintah” untuk berpuasa. Setitik contoh, pohon jati adalah tumbuhan berpuasa dengan memproses dirinya dengan menggugurkan rimbun daunnya agar tetap mampu membentuk pertahanan dan kembali lagi menjadi sebuah pohon rindang yang menyejukkan jangkauannya. Demikian dengan mawar yang “menahan diri” agar memberi output keindahan mekar bunganya yang oleh manusia bunga mawar adalah lambang dari keromantisan.
Tak juga halnya dengan Persebaya. Tapi sebelum itu mohon ditata cara pandang tentang berpuasanya Persebaya dan manusia pada umumnya ya. Seperti kesimpulan saya di paragraf awal, puasa adalah proses. Sekali lagi, puasa adalah proses.
Apa yang bisa kita dapatkan dari 90 tahun Persebaya? Kemudian apa yang bisa kita refleksikan dari begitu panjang umur Persebaya? Lalu apa yang terlewatkan dari gegap gempitanya 90 tahun Persebaya?
Tahun demi tahun langkah Persebaya adalah sebuah proses rotasi. Sedikit men-termonologikan-nya dengan ban motor yang berputar pada porosnya, oke iya memang ia berputar pada tempatnya jika digerakkan, namun sadar atau tidak, ia tetap melaju bersamaan dengan medan bidang lengkap dengan jeglongan, jendulan, gronjalan, dan mulusnya yang menciptakan ritme-ritme rasa perjalanan yang kaya akan cerita. Tetapi, itu sebagaimana lebih dulu pembaca meletakkan ketepatan letak pandangnya di sini, meluaskan ruang bahwa terminologi tadi adalah penggambaran sederhana dari rotasi Persebaya.
Saya tidak tahu pasti berapa kali Persebaya berpuasa, berbuka, atau bahkan merayakan hari raya. Saya juga tidak tahu pasti bahwa sebenarnya Persebaya belum mencapai hari rayanya, atau mungkin belum berbuka. Atau bahkan mungkin Persebaya sampai saat ini belum nawaitu dengan puasanya, saya tidak tahu.
Bersama mencari tahu itu semua, dengan sedikit meluaskan Persebaya seluas-luasnya, hingga lebih banyak kita menemukan kemungkinan-kemungkinan dan faktor-faktor yang menandai berpuasanya Persebaya atau tidak. Tetapi bagi saya, tidak menjadi hal yang penting-penting amat menilik kapan Persebaya akan berbuka. Entah berbuka dengan kemenangan, unggul materi angka dan peringkat atau juga dalam prosesi pengangkatan piala sebagai simbol juara dalam sebuah kompetisi. Pada akhirnya sampailah pada titik ditemukannya bahwa puasa adalah inti dari semua kemenangan dan juara.
Tetapi ada keseimbangan beban bahwa Persebaya harus mampu menaikkan level kematangan dan kedewasaan dalam segala perspektifnya ketika mencapai titik ritual puasa-berbuka yang oleh kalangan sering disebut Hari Raya. Hingga akhirnya kembali lagi kita harus menemukan bahwa ketika Persebaya kembali lagi harus berpuasa, tak lagi ada semacam fikiran-fikiran dan arep-arep kapan akan datangnya Hari Raya ataupun hanya sekedar berbuka puasa. Karena yang jauh lebih penting dari itu adalah inti prosesnya yang terus loading dan berjalan.
Persebaya masih berpuasa hingga nanti bertemu dengan cakrawala kejayaan yang membanggakan. Dan kembali lagi berotasi berpuasa dan terus menerus berproses hingga kini, nanti dan abadi selamanya hingga mencapai titik kejayaan sejati, kejayaan yang melekat di dalam kebesaran hati.
Salam Satoe Nyali
Wani!
*) Penulis bisa ditemui di @rifihadju