Seperti yang sudah ditulis dan diceritakan banyak penulis, Bonek merupakan pionir tradisi awaydays di Indonesia. Awaydays juga dikenal dengan sebutan tret-tet-tet, di mana sekumpulan suporter berangkat mendampingi tim kesayangannya berlaga di luar kandang.
Bahkan nama Bonek yang merupakan kepanjangan dari Bondo Nekat adalah bentuk kenekatan pendukung setia Bajol Ijo sendiri saat awaydays ke Jakarta guna mendukung Persebaya saat berlaga di babak 8 Besar era Perserikatan di tahun 1988.
Maka, tak lengkap rasanya menjadi Bonek namun tidak pernah melakukan awaydays. Dari sekian banyak awaydays yang saya lakukan, mungkin mbonek di Stadion Gajayana Malang merupakan awaydays paling berkesan bagi saya.
Berikut kisahnya.
***
Adzan Subuh yang berkumandang menjadi sebuah alarm bagi saya untuk bangun dari tempat tidur. Pagi itu, saya telah nawaitu berangkat ke Malang guna mendampingi tim kesayangan saya, Persebaya, bertanding melawan Persema Malang, Minggu 22 April 2012.
Ditemani pacar dan adik saya yang bersikeras untuk ikut, saya berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari sweeping yang lumrah terjadi saat Persebaya bertanding di kota Pendidikan tersebut.
Singkat cerita, saya berhasil memasuki stadion dan tak menemui hambatan berarti. Mungkin karena saya masuk stadion lebih awal. Dan saya tidak memarkir kendaraan di sekitar Stadion Gajayana, melainkan di sebuah pusat perbelanjaan yang letaknya tak begitu jauh dari Gajayana.
Saat memasuki stadion, saya memutuskan untuk duduk di bawah papan skor dan bersikap sebaik mungkin untuk membaur. Akan tetapi, saya meminimalisasi interaksi dengan sekitar mengingat logat bahasa antara orang Surabaya dan Malang sedikit berbeda.
Tak begitu banyak penonton yang hadir saat itu. Mungkin hanya sekitar seperempat dari kapasitas Stadion Gajayana yang terisi. Penonton yang hadir memakai atribut merah-merah warna kebesaran Laskar Ken Arok juga sedikit.
Pertandingan pun dimulai dan Persebaya menekan sejak awal pertandingan. Anak asuh Divaldo Alves yang bermain dengan kekuatan penuh ini benar-benar berhasil membuat Persema Malang seolah-olah lupa kalau mereka bermain di kandang sendiri. Tekanan di awal-awal pertandingan berbuah sebuah gol yang dicetak Mat Halil yang saat itu menempati posisi penyerang sayap.
Tentu saya sama sekali tak berselebrasi apapun sesaat gol itu terjadi. Hanya diam seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. Ikut mengumpat seperti orang-orang sekitar pun tak bisa. Bukankah perasaan memang tak bisa dibohongi?
Setelah unggul pun, Persebaya tetap mendominasi pertandingan. Sampai saat Mat Halil yang sebelumnya menjadi pahlawan dengan golnya menjadi sebuah petaka saat dikartu merah wasit. Pemain yang identik dengan nomer punggung dua itu harus meninggalkan lapangan lebih awal.
Tak berselang lama, saya melihat di sebelah barat, terjadi keributan. Saya melihat bagaimana seorang pria yang dipukuli habis-habisan oleh puluhan orang yang mengerubunginya. Aparat keamanan pun memberi respon yang tak lebih cepat dibanding angkot yang sedang mencari penumpang. Sembari menghisap rokok saya dalam-dalam, saya berdoa untuk tidak mengalami nasib yang sama dengan pria tersebut.
Sesaat sebelum jeda pertandingan, Persebaya harus kehilangan pemain lagi setelah sang kapten, Erol Iba, diusir juga oleh wasit setelah menerima kartu kuning keduanya di pertandingan tersebut. Mayoritas penonton bersorak gembira dengan situasi tersebut. Dan tentu tidak dengan kami.
Saat jeda pertandingan, di mana biasanya digunakan untuk bersantai, kondisi malah semakin memanas. Di dalam stadion, beberapa penonton melakukan sweeping kepada penonton lainnya yang dicurigai merupakan penonton dari kota Pahlawan. Saya lagi-lagi melihat bagaimana orang-orang membabi-buta menyerang seorang penonton yang diketahui merupakan warga Surabaya.
Pertandingan babak kedua pun kembali dimulai. Persebaya yang bermain dengan hanya sembilan orang bermain dengan taktik ultra defensif. Dengan hanya sesekali menyerang dengan melakukan serangan balik. Saya yang tak kuat melihat kondisi ini memilih untuk menggenggam erat tangan pacar saya agar saya tidak bereaksi secara berlebihan
Saya benar-benar ingat bagaimana seorang pemuda yang duduk beberapa meter dari saya yang tak kuasa menahan reaksinya saat melihat Persebaya ditekan, dijadikan sasaran empuk dan dikeroyok penonton-penonton lainnya. Dan lagi-lagi aparat benar-benar lamban dalam mengatasi kericuhan ini.
Persema terus menekan. Namun tak ada hasil konkret dari serangan mereka. Saya pun terheran-heran. Entah Persema benar-benar tidak bisa membangun serangan atau karena pertahanan Persebaya yang terlalu rapat. Namun dengan hanya menyisakan sembilan pemain, saya tahu jika ini hanyalah masalah waktu.
Petaka itu datang di 10 menit terakhir pertandingan. Gawang Endra Prasetya berhasil dijebol pemain Persema dua kali dan Persebaya harus pulang ke Surabaya dengan tangan kosong.
Kami memilih keluar stadion saat pertandingan memasuki injury time. Namun suasana di luar stadion ternayata lebih mencekam dibanding di dalam stadion. Banyak orang yang memakai atribut biru melakukan sweeping di luar Stadion Gajayana. Kami pun berjalan dengan setenang mungkin sembari melihat beberapa orang dikejar, dipukuli dan dihakimi di jalanan. Dengan terus berdoa dalam hati, saya pun berhasil masuk di pusat perbelanjaan di tempat saya memarkir kendaraan saya dan menunggu di sana hingga keadaan kondusif.
Saya sadar, kedatangan saya di stadion ini dapat membahayakan saya dan bahkan membahayakan orang-orang yang saya sayangi. Namun, bukankah Tuhan selalu bersama orang-orang yang nekat?
Salam Satu Nyali. Wani!