Di Surabaya, sepak bola tidak lagi dianggap sekadar hiburan. Tapi sudah soal menjaga nama baik. Apapun yang menyangkut nama baik dan identitas Surabaya dan Persebaya, sudah wajib bagi Bonek untuk menjaganya.
Suporter Bonek luas cakupannya. Dari semua usia, segala jenis pekerjaan, dan jenis kelamin. Ya, sepakbola dan dunia suporternya bukan hanya dinikmati oleh para lelaki. Perempuan pun bisa menjadi bagian dari hiruk pikuk suporter saat mendukung tim pujaannya. Bukan lagi sebatas hadir di tribun dan bernyanyi, tetapi mampu memberikan kontribusi, semangat nyata untuk tim dan sesama suporternya.
Lantas, bagaimana dengan suporter Bonek perempuan yang biasa disebut Bonita?
Bonita dalam bahasa Spanyol bermakna cantik. Bonita sendiri merupakan singkatan dari Bonek Wanita. Karena itu, Bonita di kalangan suporter diartikan sebagai suporter wanita yang mendukung Persebaya. Dan sentuhan kecantikan itu pula yang membuat situasi di Stadion Gelora 10 November berbeda sejak beberapa tahun terakhir kehadiran Bonita di stadion.
Pernah mendengar istilah, “Tuhan tidak pernah melarang seorang wanita menjadi suporter?”
Tentu itu ungkapan tersebut bermakna bahwa menjadi suporter adalah pilihan yang bebas bagi setiap wanita. Tidak ada yang melarang.
Saat Persebaya masih berkompetisi, Stadion Gelora 10 November terkesan garang dan membuat bulu kuduk berdiri jika memasuki lorong menuju tribun. Salah satunya karena citra Bonek yang sejak lama dikenal sebagai suporter yang bondo nekat. Dan nekat itu kerap dimaknai sebagai keras, kaku, ngawur, atau beringas.
Tapi, dengan kehadiran Bonita, kesan tersebut mulai luntur. Kehadiran Bonita juga membuktikan bahwa Bonek ternyata bisa sangat peduli. Mereka bertanggung jawab dan melindungi saudara perempuannya. Sayangnya, hal itu luput dari pemberitaan media pada saat itu sehingga menganggap Bonek adalah fans yang liar.
Suporter wanita sama pentingnya dengan lelaki
Peran suporter wanita pada jaman dahulu belum terlalu kentara. Apalagi di kalangan mereka, masih ada rasa takut dan sungkan untuk masuk di stadion. Tetapi, semua berubah memasuki tahun 2000 dan sesudahnya. Perlahan-lahan banyak suporter wanita yang ikut mbonek. Baik itu sekadar diajak teman, pacar, bahkan dengan orang tuanya.
Lambat lau, peran Bonita tak lagi sebatas penonton biasa dalam stadion tanpa makna dan peran. Ada di antaranya yang mampu mewakili identitas Bonek atau Bonita yang tak lagi garang dan ngawur.
Para Bonita mampu mengambil perannya dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa sepak bola bukan hanya dominasi lelaki tapi kaum perempuan juga bisa menjadi bagian darinya. Termasuk menunjukkan support-nya dengan cara masing-masing.
Ada sedikit penilaian melenceng tentang suporter wanita, termasuk yang disematkan kepada Bonita. Tidak bisa dimungkiri, ada beberapa wanita yang dengan sengaja menunjukkan style agak nakal dan menggoda di stadion.
Tidak untuk menghakimi atau menyalahkan, namun tetapi diakui atau tidak ketika Bonita tertentu menampilkan gaya seperti itu, dampaknya adalah pada citra Bonita lainnya.
Mungkin tidak semuanya seperti itu, tapi citra Bonita adalah kewajiban bersama untuk saling dijaga.
Lagi pula, ada banyak pilihan gaya dan bentuk dukungan selain cuma sekadar tampil “nakal”. Beberapa klub Indonesia bahkan menempatkan mereka sebagai bagian penting dari aksi-aksi di stadion.
Saat masih bertanding di Stadion Gelora 10 November, di dekat tribun skor sempat terlihat Bonita yang ikut menabuh drum. Ada pula silih berganti dirijen Bonita yang memimpin teman-teman Bonek lainnya untuk kompak nge-chant.
Sayangnya, tidak berselang lama saat Persebaya mengalami dualisme, perpecahan terjadi di beberapa golongan. Termasuk keputusan untuk memboikot pertandingan.
Itu adalah pilihan masing-masing Bonita. Ada yang memilih berjuang melawan upaya penghapusan sejarah, ada yang memilih untuk vakum, dan ada yang fokus bekerja dan kuliah.
Tapi, seperti harapan yang lama ditunggu, Bonita lainnya pun bermunculan. Dan mereka sepakat untuk tetap menjadi suporter yang selalu mendukung dan mengawal tim pujaannya. Apapun keadaan tim ini.
Ini membuktikan bahwa suporter wanita yang hanya dianggap pelengkap lelaki, entah sebagai pasangan, atau sekadar teman di tribun, mampu diubah oleh Bonita. Mereka juga bagian terpenting saat Persebaya bermain ataupun mengalami situasi yang tidak menentu seperti sekarang.
Hampir setiap klub punya suporter wanita
Peran suporter wanita bisa dilihat di setiap daerah. Posisi mereka tidak sembarangan. Persekabpas Pasuruan dulu mempunyai dirijen wanita bernama Indah yang disapa akrab dengan Ratu Sakera. Perija Jakarta mempunyai dirijen yang dinamai Jak Angel. PSIS Semarang memiliki Poppy Susanti dari kalangan Panser Girl. Begitu juga Anjani Vivi dari Srikandi Persis Solo.
Itu semua menunjukkan bahwa bahwa stadion bukan lagi tempat yang kaku, angker atau hanya untuk lelaki.
Kami mampu memberikan peran yang besar untuk sepak bola atau dalam skala kecil kehadiran kami diantara para lelaki adalah peneduh dalam komunitas. Seperti yang dilakukan Devi Fitroh Laily dengan buku yang beberapa pekan lalu diluncurkan dengan judul Kota, Klub, dan Pasoepati.
Buku tersebut membahas dinamika kota dengan kehadiran dan peranan Pasoepati dalam menjaga kota kebanggaannya. Merujuk pada nasehat Mayor Haristanto, salah satu penggagas terbentuknya Pasoepati, “Pasoepati adalah salah satu cerminan suporter fanatik yang dewasa dan mandiri.”
Itu mampu diaplikasikan Devi dalam wujud buku. Dia adalah salah satu Srikandi dari Pasoepati Campus yang mampu menunjukkan peranan suporter wanita bukan sebatas di tribun. Tapi mencatatnya dalam monumen sejarah dalam sebuah buku.
Devi mampu mengingat dan senantiasa merawat buku tersebut seperti menjaga warga Solo. Sebab, kebanggaan akan kota tercinta bukan sebatas menjaga kota, taman, dan tanamannya(seperti di Surabaya), tetapi juga tim sepak bola dan suporternya.
Besar harapan agar ada regenerasi Bonita yang perannya tak lagi dipandang sebelah mata. Ketika federasi sepak bola Indonesia sehat dan Persebaya kembali bangkit, Bonita berharap mendapatkan ruang di antara geliat kebangkitan Persebaya.
Syukur-syukur akan ada banyak kesempatan bagi kami untuk menjadikan Persebaya dan identitas Bonek mampu diterima oleh masyarakat Surabaya dan Indonesia. Semoga saat itu terjadi, media tidak lupa untuk mencatat dan mendokumentasikannya. (nin)