Merawat Ingatan, Perlawanan dari Bumi Mataram untuk Persebaya

Bonek Jogja. (Foto: jogjakartaheart)
Iklan

Rumangsa handarbeni, melu hangkrukebi, mulat sarira hangrasa wani” (Pangeran Sambernyawa)

Merasa memiliki, ikut menjaga dan berani instrospeksi pada diri sendiri, begitu Pangeran Sambernyawa (1725-1795 M) mengajarkan. Pangeran terakhir dari dinasti Mataram yang melawan kolonial Belanda dengan penuh keberanian. Bumi Mataram menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap ketidakadilan kolonialisme di tanah Jawa. Dari tanah Mataram pula, sekelompok kaum muda secara konsisten melawan ketidakadilan dalam sepak bola Indonesia.

Sebuah pesta yang penuh haru berlangsung pada Sabtu, 21 Februari 2015 di halaman Jogja Expo Center (JEC). Sebuah panggung disiapkan di area food court JEC. Ketika malam menjelang, ratusan Bonek mulai bergerak memenuhi area food court. Malam itu Bonek Korwil Jogja, yang lazim disebut Bonek Jogja merayakan ulang tahunnya. Lebih dari sekadar berpesta untuk merayakan ulang tahun, acara malam itu menjadi ajang konsolidasi perjuangan Bonek membela Persebaya. Stand for Pride menjadi penampil utama dengan Capo Ipul sebagai vokalis. Lagu-lagu mereka menghentak, menyuarakan lirik kecintaan pada Persebaya. Emosi jiwa Bonek yang datang membuncah mengingat Persebaya yang mati suri. Aura tribun yang dirindukan berpindah ke halaman JEC.

Sebuah pertemuan yang penuh haru terjadi di lereng Gunung Merapi yang berada di sisi utara Yogyakarta yang berbatasan dengan Jawa Tengah pada hari Sabtu tanggal 14 Juni 2015. Sekira 250 Bonek berkumpul di sebuah bumi perkemahan dalam sebuah acara yang mereka sebut sebagai jambore. Mereka berasal dari kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena memang resminya kegiatan tersebut dinamakan Jambore Bonek Jateng (Jawa Tengah) – DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Tercatat Bonek yang datang berasal dari seluruh kota di Yogyakarta, Klaten, Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Ambarawa, Salatiga, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Blora dan Cepu. Meskipun demikian, beberapa Bonek dari berbagai kota di Jawa Timur juga datang di jambore, seperti dari Madiun, Gresik dan tentu saja dari Surabaya.

Iklan

Suasana penuh haru karena kala itu Persebaya benar-benar berada di titik paling tragis. Rezim yang sedang berkuasa di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak mengakui keberadaan Persebaya, bahkan menciptakan klub baru yang disebut oleh federasi sepakbola Indonesia ini sebagai “Persebaya”. “Persebaya” ala PSSI yang de facto tidak mendapat tempat di hati para Bonek.

BACA:  Sego Elek dalam Empat Perspektif, Sebuah Catatan dari Seorang Bonek

Saiful Antoni, yang akrab dipanggil Capo Ipul, datang dari Surabaya bersama beberapa Bonek yang lain. Di sebuah pendopo berbentuk joglo, Capo Ipul menyampaikan perkembangan perjuangan untuk mengembalikan Persebaya dalam peta sepakbola Indonesia. Pengabaian Persebaya oleh PSSI kala itu memang mengancam keberadaan Persebaya dalam peta sepakbola Indonesia.

Semua yang datang di pendopo yang berada di tengah-tengah bumi perkemahan duduk bersila dengan formasi melingkar. Semua serius mendengarkan kabar terbaru tentang Persebaya. Tidak ada yang bicara sendiri, apalagi yang bercanda.

Setelah kabar tentang Persebaya didapatkan, semua Bonek berjalan ke sebuah tanah lapang di tengah bumi perkemahan. Suasana begitu magis kala mereka mendengungkan chants untuk Persebaya. Semilir angin dingin yang berhembus di lereng Merapi menambah aura kian magis.

Dua tahun sebelumnya, tepatnya di hari Minggu tanggal 7 Juli 2013, Persebaya melakoni pertandingan tandang melawan Persija (IPL) di lapangan Akademi Angkatan Udara (AAU). Sekira 10-an orang Bonek yang berasal dari Surabaya dan Jogja berkumpul di Hotel Sahid di bilangan Babarsari, Sleman, Yogyakarta. Pertandingan dinyatakan tertutup untuk penonton umum. Mengatur siasat untuk bisa datang mendukung Persebaya, Bonek membagi diri dalam dua kelompok. Kelompok pertama ikut rombongan pemain dengan naik bis pemain dan rombongan kedua menempel pada wartawan agar bisa masuk ke area AAU.

Ketika masuk stadion, tribun Stadion AAU yang hanya ada di sisi barat sudah dipenuhi oleh anggota Angkatan Udara berserta anggota keluarganya dan siswa sekolah sepakbola yang rutin berlatih di lapangan tersebut. Meskipun resminya dinyatakan tanpa penonton, tribun stadion penuh. Hampir dari mereka semua ini mendukung Persebaya. Ketika Andik Vermansah, pemain Persebaya yang paling dikenal publik menggiring bola, anak-anak berteriak kegirangan. Di akhir pertandingan Andik Vermansah dan para pemain Persebaya lainnya dikerubungi oleh anak-anak tersebut untuk minta tanda tangan dan berfoto bersama. Pertandingan ini menjadi pertandingan tandang terakhir Persebaya, karena pertandingan selanjutnya melawan Persiba Bantul di Stadion Sultan Agung tidak jadi terlaksana meskipun pemain Persebaya telah siap di lapangan. Di tribun Stadion AAU sebuah banner besar dipasang Bonek, dengan tulisan “Persebaya, The Pride of City”.

Tahun 2017, Persebaya kembali dipulihkan statusnya oleh PSSI di kota Bandung. Bonek Jogja memberangkatkan 1 bus besar yang berisi Bonek dari Jogja dan berbagai kota lain di luar Jogja. Sabtu 7 Januari 2017, rombongan bus tersebut berangkat dari Yogyakarta menuju ke Bandung untuk bergabung dengan ribuan Bonek lain, dengan Tulus Budi didaulat sebagai koordinator rombongan. Berbagai koran lokal yang terbit di Yogyakarta didatangi oleh perwakilan Bonek Jogja sebelum keberangkatan ke Bandung, untuk menyerahkan press release yang berisi sikap Bonek terhadap PSSI dan permohonan doa dan dukungan dari fans sepak bola dan warga Yogyakarta untuk kembalinya Persebaya serta kebaikan sepakbola nasional. Tentu saja dalam rilis tersebut juga berisi kulonuwun (mohon ijin) pada warga Yogyakarta yang dilewati rombongan Bonek yang menuju ke Bandung.

BACA:  Mengulas Kemungkinan Andik Vermansah, Evan Dimas, dan Hansamu Yama Membela Persebaya

Sebuah relasi media yang bisa dijadikan pembelajaran bagi fans sepakbola yang selama ini acapkali mengalami ketegangan dengan media massa karena pemberitaan media massa yang dianggap merugikan fans sepakbola. Alih-alih memusuhi media massa, Bonek Jogja membangun alternatif relasi yang positif dengan media massa.

Piala Dirgantara yang diadakan untuk merayakan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI) di Yogyakarta awal tahun 2017 menjadi turnamen pertama yang dijalani Persebaya. Stadion Maguwoharjo menjadi saksi kembalinya Persebaya dalam peta sepak bola nasional. Sayangnya, ulah beberapa Bonek yang melakukan vandalisme dengan graffiti di Stadion Maguwoharjo mencoreng kembalinya Persebaya. Alih-alih hanya mencela pelaku vandalisme, Bonek Jogja melakukan aksi nyata dengan mengecat kembali dinding stadion yang mengalami vandalisme. Aksi mengecat stadion yang dilakukan di jeda antar pertandingan Piala Dirgantara itu mengundang simpati Bonek lain yang menginap di kawasan stadion dengan ikut serta mengecat kembali dinding stadion yang mengalami vandalisme. Aksi sederhana yang seharusnya dimaknai secara luas sebagai menjaga nama baik Persebaya yang harus menjadi contoh bagi semua Bonek. Sepi ing pamrih, rame ing gawe (Tiada punya pamrih, lebih banyak aksi nyata), tepat untuk melukiskan aksi Bonek Jogja ini.

Louis Althusser, seorang filsuf strukturalis berpengaruh dari Prancis, menyebutkan bahwa ideologi bekerja dengan pemanggilan (interpellation). Keterpanggilan Bonek Jogja dalam memperjuangkan Persebaya bersama Bonek dari berbagai kota, konsistensi melawan PSSI yang menganiaya Persebaya dan tanggung jawab untuk menjaga nama baik Persebaya bersumber pada satu ideologi. Ideologi itu adalah Persebaya.

Selamat ulang tahun Bonek Jogja!

*) Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, peneliti sport communication

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display