Persebaya Surabaya, Rumah bagi Semua

Foto: Rizka Perdana Putra/EJ
Iklan

Surabaya, kota metropolitan dengan sejarah panjang terentang dari era Raja Kertanegara hingga sekarang dipimpin oleh Ibu Risma. Kota yang dulunya bernama Ujung Galuh ini dikenal dengan tiga hal, egaliter, akulturasi budaya, dan masyarakatnya yang dikenal terbuka dan tanpa tedeng aling–aling. Wajar belaka karena statusnya sebagai kota pelabuhan memungkinkan terjadinya interaksi yang intens dan berkelanjutan antara pedagang dari berbagai belahan dunia dengan masyarakat lokal. Akulturasi budaya dengan karakteristik khas masyarakat pesisir turut membentuk Surabaya dan masyarakatnya menjadi seperti sekarang. Singkatnya, Surabaya menjadi kota yang nyaman bagi penduduknya, tidak peduli dari etnis, suku, agama, atau warna kulit apapun. Lalu, apa hubungannya dengan Persebaya?

Lemari trofi memang tidak setiap saat terisi, namun Persebaya tetap menjaga multi-kulturalisme di dalam skuadnya dari masa ke masa. Mulai dari 3 pemain asing pertama dari Eropa Timur, trio Amerika Latin yang memberi gelar juara Liga Indonesia pertama, kiper Tiongkok pertama di kompetisi persepakbolaan nasional, legiun Afrika hingga pemain Australia, silih berganti mengisi slot pemain asing di Persebaya. Untuk pemain lokal, komposisinya jauh lebih beragam. Skuad Persebaya untuk mengarungi Liga 2 musim 2017 misalnya, setidaknya terdapat 1 perwakilan dari setiap pulau besar yang ada di Indonesia. Miswar Syahputra (Aceh/Sumatera), M. Hidayat (Kalimantan), Irfan Jaya (Sulawesi), Abu Rizal (Madura), Sidik Saimima (Tulehu/Maluku), hingga Fandry Imbiri (Papua) adalah nama–nama yang merepresentasikan keberagaman skuad Persebaya. Lalu, apa yang kurang dari Persebaya?

BACA:  Harapan Setelah Wabah Covid-19 Berakhir

Seperti klub sepak bola pada umumnya, Persebaya juga mempunyai rumah yang menjadi kebanggaan kita semua. Gelora 10 November Tambaksari menjadi saksi kejayaan Persebaya, sebelum digantikan dengan Gelora Bung Tomo di medio 2010an awal. Mini Nou Camp, begitu banyak orang menyebutnya karena 2 lantai tribunnya mengingatkan kita akan stadion kebanggaan Catalan itu.

Secara umum, pandangan sepak bola sebagai olahraga yang maskulin masih mengakar kuat di Indonesia dan hal tersebut termanifestasi dalam tingkah suporter di stadion. Keberadaan Bonita memang menjadi hal yang jamak kita lihat sekarang, apalagi bila dibandingkan sekian tahu lalu ketika Persebaya masih berlaga di Gelora 10 November, namun perilaku seksis seperti menyiuli, catcalling, bahkan mencoba melakukan kontak fisik tanpa memperhatikan consent dari pihak perempuan masih sering dijumpai. Keberadaan perempuan di dalam stadion masih belum lepas dari objektifikasi terhadap perempuan, sekadar dianggap pemanis tribun maupun pelengkap booth–booth sponsor.

Iklan

Stadion juga belum sepenuhnya ramah terhadap anak–anak meskipun klub dan suporter berusaha mengkampanyekan hal tersebut. Umpatan, makian, akses ke stadion, ketiadaan single seat di tribun, hingga asap rokok masih menjadi halangan utama bagi mereka yang berharap bisa dengan aman dan nyaman mengajak anaknya untuk datang ke stadion dan menikmati permainan Persebaya.

BACA:  Pemain Muda, Ciri Khas Persebaya

Masalah serupa juga hadir bagi teman–teman disabilitas. Harus diakui bahwa GBT secara keseluruhan masih belum ramah terhadap mereka. Terbatasnya akses menuju tribun dan tidak tersedianya toilet bagi penyandang disabilitas menjadi contoh hambatan yang harus dihadapi bagi para penyandang disabilitas yang juga suporter Persebaya.

Surabaya sudah membuktikan diri menjadi kota metropolitan yang egaliter, terbuka, dan hidup harmonis dalam keberagaman. Multi–kulturalisme adalah sinonim skuad Persebaya dari waktu ke waktu. Harapan kita semua kelak adalah Gelora Bung Tomo bisa menjadi rumah bagi kita semua. Rumah yang ramah, tidak hanya ramah dengan prestasi Persebaya, namun juga ramah bagi suporter Persebaya itu sendiri.

Salam Satu Nyali, Wani! (*)

*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display