Ular Tangga Persebaya

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Sambil menyeruput es kopi susu saya bertanya ke salah seorang yang bekerja langsung di industri sepak bola tanah air. Seberapa penting memangnya jadi juara Liga Indonesia bagi sebuah klub? Hadiahnya kan sama sekali tak menarik, ucap saya.

Prestise, jawab seseorang yang saya ajak diskusi tersebut. Singkat dan padat. Bagi penulis, jawaban itu sudah di luar nalar. Tak pantas untuk dilanjutkan lebih jauh. Kenapa? Karena hal itu sudah cukup untuk menjawab banyaknya klub yang rela buang uang lebih untuk juara di Liga Indonesia. Parahnya, kadang nilai yang digelontorkan sudah tidak masuk akal. Alias besar pasak daripada tiang.

Mari kita berjalan-jalan melewati Jembatan Suramadu. Di sana, ada satu contoh klub yang mengejar mimpi untuk jadi juara. Ya, juara. Mereka kini untuk sementara jadi tempat tinggal para karyawan yang akan membantu sang pemilik klub untuk juara. Menurut penulis, para karyawannya saat ini diisi oleh nama-nama besar. Banyak pemain kelas A ataupun B+ mondok berguru di sana. Meski begitu, rataan jumlah penontonnya tak pernah sementereng beberapa klub lainnya. Padahal jumlah penonton jadi salah satu dari sekian indikator yang wajib bagi pemasukan dan perencanaan sebuah klub. Artinya modal yang digelontorkan sangat-sangat besar tapi itu hanya dari sisi tim.

Dari sana kita kembali ke Surabaya untuk bergegas naik pesawat, terbang ke Bali. Di kota ini, cerita sungguh berbeda dengan cerita dari kota sebelumnya. Tahun lalu, klub yang memainkan laga kandang mereka di Gianyar ini mengumpulkan banyak pemain dengan predikat yang mentereng dari sisi naturalisasi maupun asing. Alhasil di musim yang lalu klub ini memang bertumbuh jika dilihat dari rataan jumlah penontonnya. Sponsornya pun meski kebanyakan masih grup mereka, namun sudah menutupi seluruh jerseynya. Nyaris tanpa sisa.

Iklan

Pastinya mereka sudah kebelet ingin juara musim lalu atau setidaknya menjaga pencapaian mereka di musim sebelumnya. Namun sayangnya, itu semua tak terjadi. Kalau kita bicara dengan pendekatan input-output, maka secara riil klub ini sejatinya tidak bertumbuh. Mengapa? Karena menurut penulis input yang digelontorkan sangat besar tapi output pertumbuhan yang dihasilkan tak sebanding. Input bukan hanya melulu harga atau gaji pemain yang mereka tanggung, tapi juga penambahan beberapa infrastruktur untuk komersialisasinya yang akan berimbas pada penambahan beban gaji karyawan dan biaya maintenance tentunya.

Dari Bali kita bisa ambil pelajaran bahwa return on investment (ROI) atau pengembalian investasi di industri sepak bola itu tidak akan mungkin bisa sakjet saknyet seperti sulap ala Pak Tarno di televisi yang sekali sebut jadi apa prok-prok-prok, sekejap langsung muncul. Pengembalian investasi itu butuh waktu, begitu pula dengan jadi juara yang juga perlu butuh waktu. Apalagi modal dan tenaganya. Lalu apa hubungannya dengan Persebaya?

Episode Ketiga

Persebaya memang lahir di era perserikatan tapi baru seumur jagung hidup kembali. Ini episode ketiga klub ini berjalan kembali dan dipegang oleh manajemen baru. Meskipun klub ini kaya sejarah sedari dulu kala tapi tak melulu kita harus melihat lembar demi lembar sejarah di belakang sana.

Seperti dua klub yang diceritakan sebelumnya, penulis berpendapat klub ini juga sedang ingin membuat sejarah-sejarah barunya. Di episode ketiga untuk mengikuti Liga, persiapan mereka kini jauh lebih siap daripada dua musim sebelumnya. Di beberapa aspek sudah kelihatan, mulai dari penambahan staf pelatih hingga pemain serta dukungan tim di belakang layar untuk mengurus printilan seperti visual di sosial media mereka, yang kini tak lagi begitu-begitu saja. Sudah ada niat untuk mencari solusinya. Ya semua memang ada waktunya dan yang terpenting juga ada biayanya.

BACA:  Djanur Antisipasi Jadwal Padat di Bulan Juni

Untuk urusan komersialisasi? Itu pasti. Namanya juga industri. Butuh uang kembali untuk diputar lagi. Maka menjadi pertanyaan jika tidak ada komersialisasi. Pengembalian investasi itu akan didapatkan dari mana? Apa yang sebenarnya hendak dicari?

Untungnya sampai hari ini Persebaya terlihat dijalankan selayaknya seperti menjalankan usaha. Semoga saja apa yang terlihat ini bukan kamuflase sebagai kendaraan politik di kemudian hari atau kendaraan untuk mendapatkan sejumlah uang-uang cepat dalam jumlah besar dari jual-beli saham seperti yang terlihat di daerah-daerah lainnya dan atau juga untuk mencuci uang yang didapatkan dari cara-cara yang tidak baik sebelumnya. Mengapa? Karena menjadi filantropis yang secara ikhlas baik hati dan mengeluarkan uang begitu saja di industri sepak bola itu rasanya bohong besar. Kecuali si(apapun) pemodal tersebut sudah selesai dengan kehidupannya.

Bermain Ular Tangga

Apa yang dilakukan Persebaya selama dua episode sebelumnya sampai saat ini, seperti sedang di dalam permainan ular tangga. Mulai dari start di Liga 2, mereka mendapatkan tangga untuk naik ke tingkat selanjutnya. Setelah kocokan dadu yang membawa mereka naik-turun sepanjang musim lalu, kini mereka mulai mendapatkan progress-progress yang mulai kelihatan di awal musim kedua mereka di Liga 1. Apa yang kurang di musim lalu kini mulai diperbaiki satu per satu.

Menariknya, hingga episode ketiga ini Persebaya tidak hanya fokus di tim utama. Mereka amat fokus dengan piramida pengembangan klub mereka. Apa itu? Sederhananya adalah sistem pengembangan sebuah klub dari level junior ke level senior atau dari level amatir ke level profesional.

Di level usia 13 tahun, klub sudah memiliki tim. Begitu pula di level usia 16, 17 dan 19 tahun. Seluruhnya telah turun di level nasional untuk menguji kemampuan. Hasilnya lumayan untuk klub yang baru berusia dua musim. Pada level usia 13 dan 17 tahun, Persebaya jadi kampiun Piala Soeratin (Jawa Timur dan Nasional). Sedangkan di level usia 16 dan 19 tahun, mereka terhenti di babak 8 besar. Bukan hanya memiliki tim di level usia saja, mereka bahkan melahirkan PS Kopa untuk bertanding di Liga 3.

Dalam dua episode awal, jenjang ini sudah dijalankan dan terbukti berjalan. Seharusnya jika tidak bertemu dengan ular yang berjalan turun, dalam kurun waktu tiga tahun ke depan akan ditemui pemain-pemain muda yang terlahir dari sistem ini dan merangkak naik masuk ke dalam tim utama. Semoga.

Lalu bagaimana dengan tim utama? Persebaya kini punya solusi atas permasalahan yang muncul di musim lalu. Sebut saja, masalah fisik? Kini ada pelatih fisik. Mumpuni atau tidak, kemampuannya bisa diikuti bersama di musim 2019. Masalah lubang di sisi kanan? Kini datang Novan Setya. Mainnya seperti apa? Bisa dimonitor bersama sepanjang musim 2019 nanti. Masalah pemain nomor 10? Kini sudah datang Damian. Di sektor depan, masalah ketidakmampuan David Da Silva hadir di titik 12 pas sepanjang musim lalu dan mencetak gol dari skema tersebut kini terjawab dengan hadirnya Amido Balde. Seberapa berguna dirinya bagi tim? Semua akan dilihat ketika musim 2019 dimulai. Tapi setidaknya untuk awal, Amido bisa memberikan ketenangan ke hati Djadjang Nurdjaman dan menghilangkan trauma atas kegagalannya saat memilih Carlton Cole di Persib dulu.

BACA:  Absen Latihan Perdana, Irfan Jaya, Osvaldo Haay dan Rian Masih Gabung Timnas

Bukan Tanpa Cela

Meski solusi-solusi dari permasalahan di musim lalu sudah didatangkan satu per satu. Tapi perjalanan Persebaya ke depan bukan tanpa cela. Moncernya Amido, mobilitas serangan dan crossing yang kemarin terfokus dari Ruben, canggihnya umpan terobosan dan bola mati Damian, mobilitas Jalilov, seimbangnya Novan di sisi kanan serta duet tak terganti Hansamu dan Dutra, menimbulkan satu pertanyaan besar. Apa jadinya Persebaya jika mereka semua tidak main atau salah satu dari mereka berhalangan tidak dapat bermain?

Sebagai pelatih kharismatik, Djadjang Nurdjaman memiliki kebiasaan untuk tidak berani mengganti seluruh atau sebagian besar daftar susunan pemainnya. Pasti ia juga ingin menjaga rekor pribadinya karena di dalam liga, ia juga tidak boleh main-main dengan bongkar pasang pemain. Mengapa? karena reputasinya dalam meramu sebuah tim akan dilihat melalui berapa banyak poin yang diambil serta urutan klasemen akhir setiap minggunya.

Tapi klub ini juga punya visi untuk menjaga sustainabilitas atau keberlanjutan. Tidak melulu soal uang tapi tentunya dari tren permainan. Menjadi pertanyaan besar jika kedalaman skuad yang sudah sangat baik saat ini akhirnya tidak terpakai. Alias yang main itu-itu saja. Mubazir. Untuk itu, ini saatnya bagi Djanur untuk berani melatih rotasi dan memberikan tanggung jawab kepada seluruh pemainnya sehingga lebih siap dari sisi taktikal maupun mental ketika mereka diminta masuk dalam daftar susunan pemain Persebaya kapanpun kesempatan itu datang. Bukan malah mengganggu soliditas tim ketika si pemain bermain. Hal itulah yang harus dipersiapkan.

Terakhir, penulis merasa Piala Presiden bukanlah tempat yang tepat untuk show of force bagi Persebaya. Karena jarak waktu yang terlalu dekat dengan kompetisi yang sesungguhnya, Liga 1. Piala Indonesia dengan ketidakjelasannya menurut penulis justru jadi ajang utama untuk diprioritaskan karena sudah disiapkan untuk naik kelas langsung ke AFC Cup 2020 jika menjadi juaranya. Juara Liga 1? Itu bonus bagi mentalitas Persebaya.

Semoga di episode ketiga kali ini, kocokan dadu yang digulirkan oleh tim tidak sering diganggu oleh keruwetan regulator, operator, sosial-politik nasional dan juga problem klasik dari sisi internal. Sehingga yang seharusnya mendapatkan ular yang terus membawa mereka untuk naik tangga justru harus turun sedikit demi sedikit atau harus kembali mendekati posisi start dari awal mereka memulainya dulu. Semoga ini tidak akan terjadi di Persebaya. Selamat datang episode ketiga. Ayo jaga dan dukung nama baik Persebaya dimulai dari diri sendiri. Wani!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display